Dari Ratapan kepada Pujian
Dalam sebuah kegiatan amal yang membagikan mantel gratis, anak-anak sangat gembira mencari mantel yang ukuran dan warnanya pas dengan selera mereka. Salah seorang panitia menjelaskan bahwa anak-anak itu menjadi lebih percaya diri dengan mantel baru karena merasa lebih diterima oleh teman-teman dan meningkatkan kehadiran di sekolah saat musim dingin.
Tersambung Dengan Allah
Di sebuah toko barang bekas, saya menemukan lampu yang rasa-rasanya cocok untuk ruang kerja saya di rumah—warna, ukuran, dan harganya pas. Namun, ketika saya mencolokkan lampu itu ke stop kontak di rumah, tidak terjadi apa-apa. Lampunya tidak menyala. Tidak ada daya yang mengalir.
Dalam Penjagaan Allah
Cucu kecil kami melambaikan tangan dan mengucapkan sampai jumpa, tetapi kemudian berbalik dengan sebuah pertanyaan: “Mengapa Nenek masih berdiri di depan pintu dan melihat terus sampai kami pergi?” Saya tersenyum, karena itu pertanyaan yang “lucu” dari anak sekecil dirinya. Namun, melihat bahwa ia benar-benar bingung, saya mencoba memberikan jawaban yang baik. “Itu yang disebut sopan santun,” kata saya. “Mengantarkanmu sampai depan pintu dan melihat sampai kamu pergi menunjukkan Nenek peduli kepadamu.” Cucu saya mencerna jawaban itu, tetapi wajahnya masih tampak bingung. Jadi, saya mencoba menyampaikannya dengan lebih sederhana. “Nenek memperhatikanmu,” kata saya, “karena Nenek sayang kepadamu. Saat melihat mobilmu pergi, Nenek tahu kamu berangkat pulang dengan aman.” Cucu saya tersenyum dan memeluk saya dengan hangat. Akhirnya, ia mengerti.
Kaya di Hadapan Allah
Kedua orangtua saya tahu apa artinya hidup susah sejak kecil karena mereka dibesarkan pada masa Depresi Besar. Alhasil, mereka suka bekerja keras dan sangat cermat mengatur uang. Namun, mereka tidak pelit. Mereka tidak segan-segan memberikan waktu, talenta, dan harta mereka kepada gereja, yayasan amal, dan kaum yang membutuhkan bantuan. Mereka benar-benar mengelola uang mereka dengan bijak dan memberi dengan sukacita.
Tetap di Jalur yang Benar
Pelari buta tercepat dunia, David Brown dari Tim Paralimpik AS, mengakui bahwa prestasinya merupakan buah pertolongan Tuhan, nasihat ibunya di masa lalu (yang suka berkata “jangan berpangku tangan”) dan gemblengan pelatih larinya—mantan pelari cepat Jerome Avery. Avery yang terhubung dengan Brown lewat seutas tali yang mengikat jari-jari mereka telah menuntun Brown kepada kemenangan lewat kata-kata dan sentuhan yang diberikannya.
Bangku Persahabatan
Di Zimbabwe, Afrika, trauma akibat perang dan tingginya angka pengangguran membuat banyak orang putus asa—sampai kemudian mereka menemukan pengharapan ketika duduk di sebuah “bangku persahabatan”. Mereka yang putus asa boleh duduk di bangku itu dan berbicara dengan para “nenek” yang sudah dilatih untuk mendengarkan orang-orang yang sedang bergumul dengan depresi, suatu kondisi yang dalam bahasa Shona—bahasa ibu bangsa itu—disebut sebagai kufungisisa, atau “berpikir terlalu jauh.”
Menyediakan Waktu untuk Tuhan
Banyak perubahan terjadi sejak jam elektrik ditemukan di tahun 1840-an. Sekarang kita mencari tahu waktu lewat arloji pintar, ponsel, dan laptop. Hidup berjalan seakan lebih cepat—bahkan jalan “santai” kita pun bertambah cepat. Hal ini terutama terjadi di kota-kota besar dan, menurut para ahli, berpotensi memberi dampak buruk pada kesehatan kita. “Kita bergerak cepat dan semakin cepat, dan berusaha menghubungi orang secepat mungkin,” kata Profesor Richard Wiseman. “Kita terdorong untuk berpikir bahwa segala sesuatu harus terjadi sekarang juga.”
Dipimpin oleh Firman-Nya
Saat baru mulai bekerja untuk radio BBC di London, Paul Arnold ditugasi membuat “bunyi langkah orang berjalan” yang dipakai dalam drama-drama radio. Sementara aktor membacakan naskah yang menampilkan adegan jalan kaki, Paul harus membuat bunyi langkah-langkah kaki yang pas. Ia perlu memperhatikan kecepatan bunyi yang dibuatnya agar sesuai dengan suara dan kalimat-kalimat yang diucapkan sang aktor. Ia mengatakan bahwa tantangan utamanya adalah bagaimana menuruti sang aktor dalam cerita, “agar kami berdua bisa bekerja sama.”
Memohon kepada Allah
Ketika suami saya, Dan, didiagnosis mengidap kanker, saya tidak dapat menemukan cara yang “tepat” untuk memohon kesembuhannya kepada Allah. Dalam pandangan saya yang terbatas, saya merasa orang-orang di belahan dunia lain menghadapi bermacam masalah yang lebih serius—peperangan, kelaparan, kemiskinan, bencana alam. Lalu suatu hari, di waktu doa kami, saya mendengar suami saya dengan tulus memohon, “Ya Tuhan, sembuhkanlah penyakitku.”