Berbagi Tanda Kepedulian
Setiap pagi, pendeta muda itu berdoa meminta Allah memakai dirinya untuk memberkati seseorang hari itu. Sering kali, situasi yang dimintanya itu muncul dan hatinya pun senang. Suatu hari, saat beristirahat dari pekerjaan sambilannya, ia duduk di bawah sinar matahari bersama seorang rekan kerja yang bertanya kepadanya tentang Yesus. Pendeta itu pun menjawab pertanyaan rekan kerja itu apa adanya. Tidak ada khotbah. Tidak ada perdebatan. Ia berkata bahwa Roh Kudus membimbingnya untuk berbicara santai dengan cara yang terasa efektif tetapi penuh kasih. Ia juga mendapat teman baru—seseorang yang haus untuk belajar lebih banyak tentang Allah.
Kasih Perlindungan Allah
Suatu malam di musim panas, burung-burung di dekat rumah kami tiba-tiba bercericit panik. Kicauan itu berlangsung semakin intens saat burung-burung penyanyi bersiul nyaring dari arah pepohonan. Akhirnya, kami menyadari alasannya. Ketika matahari terbenam, seekor elang besar menukik dari puncak pohon, membuat burung-burung itu lari berpencaran sambil mengeluarkan suara peringatan tanda bahaya.
Memberi seperti Kristus
Ketika O. Henry, penulis asal Amerika Serikat, menulis cerita Natal terkenalnya yang berjudul “The Gift of the Magi” pada tahun 1905, ia sendiri sedang berjuang untuk bangkit dari pergumulan pribadi. Meski demikian, ia berhasil menulis suatu kisah inspiratif yang menekankan karakter serupa Kristus yang sangat indah, yakni pengorbanan. Dalam cerita tersebut, seorang istri yang miskin menjual rambut panjangnya yang indah pada malam Natal demi membeli seutas rantai emas untuk jam saku suaminya. Akan tetapi, belakangan sang istri baru tahu bahwa sang suami sudah menjual jam sakunya agar dapat membelikan seperangkat sirkam untuk rambut indahnya.
Hati Allah untuk Semua Orang
Saat berusia sembilan tahun, Dan Gill pernah datang bersama sahabatnya Archie ke pesta ulang tahun teman sekelas mereka. Ketika ibu dari anak yang berulang tahun melihat Archie, ia tidak mengizinkannya masuk. “Kursinya tidak cukup,” katanya bersikeras. Dan sempat menawarkan diri untuk duduk di lantai agar ada tempat bagi temannya yang berkulit hitam itu, tetapi si ibu tetap menolak. Dengan sangat sedih, Dan pun menyerahkan hadiah yang mereka bawa lalu pulang bersama Archie. Penolakan yang dialami temannya itu membuat hati Dan terluka.
Pizza yang Gigih
Pada usia dua belas tahun, Ibrahim tiba di Italia sebagai imigran dari Afrika Barat. Ia tidak tahu sepatah kata pun bahasa Italia, berjuang dengan gagap, dan sering menerima ungkapan kebencian terhadap kaum imigran. Namun, semua itu tidak menghalangi tekad anak muda itu untuk bekerja keras. Pada usia dua puluhan ia berhasil membuka toko pizza di Trento, Italia. Bisnis kecilnya berhasil merebut hati banyak orang yang semula meragukannya, hingga tercatat dalam daftar lima puluh restoran pizza terbaik di dunia.
Kristus, Terang Kita yang Sejati
“Pergilah ke arah cahaya!” Begitulah saran suami saya saat kami kesulitan menemukan jalan keluar dari sebuah rumah sakit besar pada hari Minggu sore baru-baru ini. Kami baru saja membesuk seorang teman, dan ketika keluar dari lift, kami tidak dapat menemukan siapa pun yang dapat mengarahkan kami ke pintu keluar dan juga ke arah sinar matahari Colorado yang cerah. Saat menyusuri lorong-lorong rumah sakit yang remang-remang, kami akhirnya bertemu seorang pria yang menyadari kebingungan kami. “Lorong-lorong ini tampak sama semua,” katanya. “Namun, jalan keluarnya lewat sini.” Berkat arahannya, kami pun menemukan pintu keluar—yang memang membawa kami kepada sinar matahari yang cerah.
Berserah untuk Percaya
Pada suatu pagi di musim dingin, saya membuka tirai dan melihat pemandangan yang mengejutkan. Dinding kabut. “Kabut beku,” peramal cuaca menyebutnya. Kabut yang menjadi peristiwa langka di lokasi kami ini datang dengan kejutan lebih besar: prakiraan cuaca selanjutnya adalah langit biru dan sinar matahari—“dalam satu jam.” “Mana mungkin,” kata saya kepada suami. “Sekarang pun kita nyaris tidak bisa melihat apa-apa tiga puluh sentimeter di depan.” Akan tetapi, benar saja, kurang dari satu jam kemudian kabut memudar, langit menjadi cerah dan berwarna biru jernih.
Belas Kasihan dalam Tindakan Nyata
Sebenarnya, pekerjaan James Warren bukanlah membuat bangku. Namun, ia mulai membuatnya ketika melihat seorang wanita di Denver duduk di atas tanah saat menunggu bus. “Sungguh tidak manusiawi,” pikir Warren yang prihatin. Jadi, konsultan tenaga kerja berusia dua puluh delapan tahun itu pun mencari beberapa potong kayu, membuat bangku, dan menaruhnya di halte bus tadi. Bangku itu sungguh berguna. Ketika menyadari bahwa sebagian besar dari sembilan ribu halte bus di kotanya tidak menyediakan tempat duduk, ia pun membuat bangku-bangku berikutnya, dan mengukir tulisan “Mari Peduli” pada setiap bangku buatannya. Tujuannya? “Supaya hidup orang lain sedikit lebih baik, dengan cara yang bisa saya lakukan,” kata Warren.
Gereja Allah yang Kekal
“Apakah gereja sudah selesai?” tanya seorang ibu muda. Ia tiba di gereja kami bersama dua orang anak kecil tepat menjelang akhir kebaktian. Namun, salah seorang aktivis penyambut jemaat memberi tahunya bahwa ada sebuah gereja terdekat yang mengadakan dua kali kebaktian, dan kebaktian keduanya akan segera dimulai. Ia pun menawarkan ibu itu untuk diantar ke sana. Ibu muda itu sangat bersyukur dapat diantar beberapa blok ke gereja tersebut. Saat merenungkan pengalaman tadi, aktivis itu menarik kesimpulan: “Apakah gereja sudah selesai? Tidak akan. Gereja Allah akan tetap ada untuk selamanya.”