Belas Kasihan dalam Tindakan Nyata
Sebenarnya, pekerjaan James Warren bukanlah membuat bangku. Namun, ia mulai membuatnya ketika melihat seorang wanita di Denver duduk di atas tanah saat menunggu bus. “Sungguh tidak manusiawi,” pikir Warren yang prihatin. Jadi, konsultan tenaga kerja berusia dua puluh delapan tahun itu pun mencari beberapa potong kayu, membuat bangku, dan menaruhnya di halte bus tadi. Bangku itu sungguh berguna. Ketika menyadari bahwa sebagian besar dari sembilan ribu halte bus di kotanya tidak menyediakan tempat duduk, ia pun membuat bangku-bangku berikutnya, dan mengukir tulisan “Mari Peduli” pada setiap bangku buatannya. Tujuannya? “Supaya hidup orang lain sedikit lebih baik, dengan cara yang bisa saya lakukan,” kata Warren.
Gereja Allah yang Kekal
“Apakah gereja sudah selesai?” tanya seorang ibu muda. Ia tiba di gereja kami bersama dua orang anak kecil tepat menjelang akhir kebaktian. Namun, salah seorang aktivis penyambut jemaat memberi tahunya bahwa ada sebuah gereja terdekat yang mengadakan dua kali kebaktian, dan kebaktian keduanya akan segera dimulai. Ia pun menawarkan ibu itu untuk diantar ke sana. Ibu muda itu sangat bersyukur dapat diantar beberapa blok ke gereja tersebut. Saat merenungkan pengalaman tadi, aktivis itu menarik kesimpulan: “Apakah gereja sudah selesai? Tidak akan. Gereja Allah akan tetap ada untuk selamanya.”
Air yang Dalam
Pada tahun 1992, Bill Pinkney berlayar seorang diri mengelilingi dunia dan menempuh rute yang sulit dengan mengitari sejumlah tanjung besar di belahan bumi selatan yang berbahaya. Ia melakukannya demi suatu maksud mulia, yaitu untuk mengilhami dan mendidik anak-anak, termasuk murid-murid di bekas sekolah dasarnya di kawasan kumuh kota Chicago. Tujuannya? Untuk menunjukkan seberapa jauh mereka dapat melangkah jika mereka tekun belajar dan memegang komitmen—kata yang digunakan Bill untuk menamai kapalnya. Saat Bill membawa anak-anak sekolah berlayar di atas kapal Komitmen, ia berkata, “Saat memegang tangkai kemudi kapal itu, mereka belajar tentang arti kendali, pengendalian diri. Mereka belajar tentang kerja sama tim . . . semua hal dasar yang dibutuhkan seseorang dalam hidup untuk mencapai sukses.”
Dia Menjadikan Kita Baru
Sebagai seorang pegawai yang sering bepergian, Shawn Seipler berkutat dengan sebuah pertanyaan yang janggal. Akan dikemanakan sisa sabun batangan di kamar hotel? Seipler berpikir, daripada menjadi sampah dan dibuang, jutaan sisa sabun batangan itu dapat dijadikan sabun baru. Ia pun meluncurkan Clean The World, sebuah usaha daur ulang yang telah membantu lebih dari delapan ribu hotel, kapal pesiar, dan resor untuk mengolah berton-ton sisa sabun menjadi sabun batangan baru yang telah dibentuk ulang dan disterilisasi. Sabun-sabun hasil daur ulang itu kemudian dikirimkan ke orang-orang yang membutuhkannya di lebih dari seratus negara, untuk membantu mencegah berbagai penyakit bahkan kematian yang terkait dengan kebersihan.
Kecil tetapi Besar
Apakah aku bisa bertanding di Olimpiade? Seorang perenang tingkat perguruan tinggi khawatir bahwa ia kurang cepat. Namun, ketika seorang profesor matematika, Ken Ono, mempelajari teknik renang pemudi itu, ia menemukan cara untuk meningkatkan kecepatannya sampai enam detik penuh—perbedaan yang substansial pada kompetisi setingkat Olimpiade. Setelah memasang sensor pada punggung perenang, ia tidak melihat perlunya perubahan-perubahan besar untuk meningkatkan rekor waktunya. Sebaliknya, Ono mengidentifikasi tindakan korektif kecil yang, jika diterapkan, akan membuat atlet muda itu berenang dengan lebih efisien di dalam air, sehingga dapat mencapai jarak waktu yang dibutuhkan untuk menang.
Dikenal Allah
Setelah adopsi memisahkan dua bersaudara, tes DNA membantu mempertemukan mereka kembali hampir dua puluh tahun kemudian. Ketika Kieron mengirim pesan kepada Vincent, pria yang ia yakini adalah saudaranya, Vincent berpikir, Siapa orang asing ini? Saat Kieron bertanya siapa namanya sewaktu dilahirkan, Vincent langsung menjawab, “Tyler.” Maka tahulah Kieron bahwa mereka bersaudara. Ia dikenali dari namanya!
Perkasa dan Baik
Pembina mahasiswa yang masih muda itu sedang resah. Namun, ia tampak bimbang ketika saya memberanikan diri untuk bertanya apakah ia sudah berdoa, untuk meminta tuntunan Allah dan memohon pertolongan dari-Nya. Berdoa tanpa henti, seperti anjuran Paulus. Namun, ia mengaku, “Aku tidak yakin apakah aku masih mempercayai kuasa doa.” Ia mengernyit. “Aku juga tidak yakin Allah mendengarkan doa. Lihat saja keadaan dunia ini.” Si pemimpin muda itu sedang “membangun” pelayanan dengan kekuatannya sendiri, dan sayangnya, ia gagal. Mengapa? Karena ia menolak Allah.
Dari Kebencian Menuju Kasih
Jabat tangan itu mengandung sejuta makna. Pada suatu malam di bulan Maret 1963, dua pemain basket tingkat perguruan tinggi—yang seorang berkulit hitam sementara yang lain berkulit putih—mendobrak sekat rasialisme dengan saling berjabat tangan sebelum bertanding. Untuk pertama kalinya dalam sejarah kampus Mississippi State, tim mereka yang seluruhnya beranggotakan pemain kulit putih berhadapan dengan tim lawan yang beranggotakan sejumlah pemain kulit hitam—dalam hal ini tim Loyola dari Universitas Chicago. Untuk dapat tampil dalam ajang yang dijuluki sebagai “pertandingan yang mengubah segalanya” itu, tim Mississippi State perlu menyiasati perintah yang melarang mereka keluar dari negara bagian mereka. Sementara itu, para pemain tim Loyola yang berkulit hitam kerap menghadapi cercaan rasis sepanjang musim, dilempari popcorn dan es batu, serta mengalami penolakan selama bepergian.
Memantulkan Terang-Nya
Untuk menangkap keindahan dari pantulan cahaya dalam lukisan pemandangan yang dibuatnya dengan cat minyak, seniman Armand Cabrera bekerja dengan prinsip artistik yang penting ini: “Cahaya pantulan tidak pernah sekuat sumber cahayanya.” Ia mengamati bahwa pelukis pemula cenderung membesar-besarkan cahaya pantulan. Namun, menurut Cabrera, “Cahaya pantulan adalah milik bayangan, sehingga cahaya itu seharusnya mendukung dan bukannya bersaing dengan bagian-bagian lukisan Anda yang terang.”