Penulis

Lihat Semua

Artikel oleh Patricia Raybon

Tak Pernah Terlambat

Saat mengunjungi sebuah kota kecil di Afrika Barat, pendeta saya yang berkebangsaan Amerika memastikan dirinya datang tepat waktu untuk kebaktian Minggu pukul 10.00. Meski demikian, ia mendapati ruang ibadah di gereja sederhana tersebut kosong. Jadi ia menunggu. Satu jam. Dua jam. Akhirnya, ketika pendeta setempat tiba setelah menempuh perjalanan panjang, diikuti beberapa anggota paduan suara dan sekelompok penduduk kota yang ramah, ibadah pun dimulai sekitar pukul 12.30, “setelah genap waktunya”, demikian kata pendeta saya. “Roh Kudus menyapa kami, dan Allah tidak terlambat.” Pendeta saya mengerti budaya di sana berbeda karena alasan-alasan yang wajar. 

Meski Tak Layak Diriku

Wanita muda itu tidak dapat tidur. Sebagai penyandang disabilitas fisik selama bertahun-tahun, ia diminta untuk tampil keesokan harinya dalam acara pasar amal di gereja untuk mengumpulkan dana bagi pendidikan tinggi. Sebenarnya aku tidak layak, pikir Charlotte Elliott. Ia merasa gelisah sepanjang malam, terus meragukan kelayakan dirinya, bahkan mempertanyakan setiap aspek kehidupan rohaninya. Dengan hati yang masih resah keesokan harinya, ia pun mengambil pena dan kertas, lalu menulis lirik lagu yang sekarang menjadi himne klasik, “Just As I Am” (Meski Tak Layak Diriku, Kidung Jemaat no. 27).

Pengharapan Besar

Pada suatu hari yang sibuk menjelang Natal, seorang wanita lanjut usia mendekati gerai di kantor pos lokal yang sedang ramai. Melihat gerakannya yang perlahan, seorang petugas kantor pos yang sabar menyapanya, “Halo, Kak! Ada yang bisa saya bantu?” Maksud petugas itu baik, tetapi sapaannya bisa diartikan orang bahwa “usia muda” itu lebih baik. 

Memilih Mendengarkan Kristus

Setelah menonton berita TV berjam-jam setiap hari, pria tua itu menjadi gelisah dan cemas. Ia khawatir dunia akan hancur dan menyeret dirinya. “Sudah, matikan saja TV itu,” ucap putrinya yang sudah dewasa. “Jangan dengarkan lagi.” Namun, pria tua itu tetap saja menghabiskan terlalu banyak waktu di media sosial dan sumber-sumber berita lainnya.

Mempercayai Petunjuk Arah dari Allah

Saat kami berkendara ke lokasi yang tidak dikenal, suami saya tersadar bahwa GPS kami tiba-tiba menunjukkan arah yang tampaknya keliru. Setelah memasuki jalan bebas hambatan empat jalur yang nyaman, kami disarankan untuk keluar dan menyusuri jalan satu jalur yang sejajar dengan jalan raya. “Aku ikuti saja,” kata suami saya, meski jalan bebas hambatan terlihat lancar-lancar saja. Namun, setelah berkendara kira-kira 16 kilometer jauhnya, lalu lintas di jalan tol di sebelah kami melambat hingga nyaris berhenti total. Apa penyebabnya? Ada sebuah proyek pembangunan. Dan jalan arteri yang kami lewati? Karena lalu lintasnya tidak padat, kami pun tiba di tujuan tanpa hambatan. “Aku tidak bisa melihat apa yang terjadi di depan,” kata suami saya, “tetapi GPS ini bisa.” Atau, seperti yang kami sepakati, “seperti Allah juga bisa melihatnya.”

Burung-Burung di Langit

Matahari musim panas tengah merangkak naik dan tetangga saya tersenyum ketika melihat saya di halaman depan. Sambil berbisik ia meminta saya mendekat. “Ada apa?” saya balas berbisik, penasaran. Ia menunjuk kelinting angin di teras depan rumahnya, dan di sana tampak setumpuk kecil jerami teronggok di atas dudukan besi. “Sarang kolibri,” bisiknya. “Lihat bayi-bayinya?” Dua paruh semungil ujung peniti mencuat keluar, nyaris tak terlihat. “Mereka sedang menunggu induknya.” Kami berdiri di sana dengan takjub. Saya mengarahkan ponsel untuk mengabadikan momen itu. “Jangan terlalu dekat,” kata tetangga saya. “Jangan sampai induknya takut.” Sejak hari itu, kami mengadopsi—dari jauh—sebuah keluarga kolibri.

Air Kehidupan

Sesampainya di rumah saya, bunga-bunga potong yang dikirim dari Ekuador itu sudah terkulai dan layu. Pada petunjuknya tertulis, bunga-bunga itu akan menjadi segar kembali jika dimasukkan ke dalam vas berisi air segar. Namun, batang-batang bunganya harus dipangkas terlebih dahulu agar dapat menyerap air dengan lebih mudah. Namun, apakah bunga-bunga itu dapat bertahan?

Belajar dan Mengasihi

Di sebuah sekolah dasar di Greenock, Skotlandia, tiga guru yang sedang cuti melahirkan, membawa bayi mereka ke sekolah setiap dua minggu sekali untuk berinteraksi dengan para siswa. Bermain dengan bayi mengajar anak-anak untuk berempati, peduli, dan berbagi rasa dengan orang lain. Sering kali, yang paling cepat paham justru siswa-siswa yang “cukup menyulitkan,” ungkap salah seorang guru. “[Anak-anak] berinteraksi pada level yang lebih pribadi.” Mereka belajar “betapa tidak mudahnya merawat seorang anak,” dan “perlunya tenggang rasa terhadap satu sama lain.”

Kekuatan untuk Melepaskan

Paul Anderson adalah atlet angkat besi asal Amerika Serikat yang pernah dikenal sebagai Manusia Terkuat di Dunia. Meski mengalami infeksi telinga parah dan menderita demam hingga 39 derajat Celcius, ia berhasil mencetak rekor dunia dalam ajang Olimpiade tahun 1956 di Melbourne, Australia. Awalnya ia sempat tertinggal dari para pesaingnya, dan satu-satunya kesempatan meraih medali emas adalah dengan mencetak rekor kejuaraan baru pada partai terakhirnya. Namun, dua upaya pertamanya gagal total.