Berani Menghadapi Badai
Badai dahsyat melanda Memphis, Tennessee, pada petang 3 April 1968. Karena merasa letih dan kurang enak badan, Pendeta Dr. Martin Luther King Jr. ingin membatalkan pidato dukungannya terhadap unjuk rasa para pekerja kebersihan di sebuah gereja. Namun, ia terkejut saat panggilan telepon menyampaikan bahwa masyarakat dengan berani menembus badai demi mendengar pidatonya. Maka ia pergi ke gereja dan berbicara selama 40 menit, menyampaikan apa yang dianggap sebagian orang sebagai pidato terbaiknya, berjudul “I’ve Been to the Mountaintop” (Aku Sudah Pernah ke Puncak Gunung).
Mendengarkan di Surga
Hingga usia delapan belas bulan, Maison belum pernah mendengar suara ibunya. Dokter memasangkan alat bantu dengarnya yang pertama, lalu ibunya, Lauryn, bertanya, “Kamu bisa mendengar suara Ibu, Nak?” Mata Maison berbinar-binar. “Hai, Sayang!” sapa Lauryn. Maison tersenyum dan mengoceh pelan. Sambil menangis, Lauryn tahu ia tengah menyaksikan suatu mukjizat. Ia melahirkan Maison secara prematur setelah tertembak tiga kali dalam perampokan bersenjata di rumahnya. Terlahir dengan berat hanya setengah kg, Maison dirawat secara intensif selama 158 hari dan sangat kecil kemungkinannya bertahan hidup, apalagi dapat mendengar.
Lebih Berharga Daripada Emas
Ketika pencari emas, Edward Jackson, berangkat ke California pada masa Demam Emas Besar di Amerika Serikat, catatan hariannya tertanggal 20 Mei 1849 berisi keluhan atas perjalanannya yang berat di atas pedati, suatu pengalaman yang sarat penyakit dan kematian. “Oh, jangan tinggalkan tulang-tulangku di sini,” tulisnya. “Jika mungkin, makamkan tulang-tulangku di kampung halamanku.” Pencari emas lain, John Walker, menulis, “Ini pertaruhan terbesar yang dapat ditempuh manusia . . . saya tidak menganjurkan siapa pun untuk ikut.”
Diingat dalam Doa
Dalam sebuah gereja besar di Afrika, seorang pendeta berlutut dan berseru kepada Allah, “Ingatlah kami!” Ketika pendeta itu memohon, jemaatnya membalas dengan berseru, “Ingatlah kami, ya Tuhan!” Ketika menyaksikannya di YouTube, tanpa terasa air mata saya menitik. Seruan doa ini direkam beberapa bulan sebelumnya. Namun, video tersebut membawa saya kembali kepada kenangan masa kecil ketika pendeta keluarga kami menyerukan doa yang sama. “Ingatlah kami, ya Tuhan!”
Identitas Kita yang Sejati
Pertama-tama, lelaki itu memilih kotak peralatan. Ia sedang berada di sebuah toko peralatan memancing, dan keranjang belanjanya semakin penuh dengan benda-benda seperti kail, umpan, katrol, benang, dan pemberat. Terakhir, ia menambahkan umpan hidup dan memilih gagang serta kumparan baru. “Sudah pernah memancing sebelumnya?” tanya pemilik toko. Pria itu menjawab belum. “Ada baiknya membeli ini juga,” kata si pemilik, sambil menunjuk sebuah kotak P3K. Pria itu setuju lalu membayar belanjaannya. Ia pun pergi memancing hari itu, dan tidak berhasil mendapat seekor ikan pun—yang didapatnya justru luka robek di jarinya akibat terkena mata kail.
Anda Tidak Sendiri
“Senang bertemu denganmu!” “Kamu juga!” “Senang sekali ketemu kamu di sini!” Mereka saling memberikan sapaan yang hangat dan ramah. Para anggota lembaga pelayanan di California Selatan itu berkumpul secara daring sebelum acara dimulai. Sebagai pembicara yang melayani dari jauh di Colorado, saya mengamati interaksi mereka diam-diam. Sebagai seorang introvert yang tidak kenal siapa-siapa, saya merasa seperti orang asing. Lalu, tiba-tiba, wajah pendeta saya muncul di layar. Kemudian seorang teman lama di gereja saya juga hadir. Saya tidak lagi merasa sendirian setelah melihat mereka. Kehadiran mereka terasa seperti dukungan yang dikirim Allah untuk saya.
Waktu untuk Berbicara
Selama tiga puluh tahun, seorang wanita berkulit hitam bekerja dengan setia di sebuah lembaga pelayanan berskala global. Namun, ketika ia mengajak rekan-rekan kerjanya berdiskusi soal diskriminasi ras, ajakannya tidak mendapat sambutan. Akhirnya, pada musim semi tahun 2020—ketika isu rasisme mulai dibicarakan secara terbuka dan meluas di seluruh dunia—barulah teman-teman sepelayanannya “mau berdialog secara terbuka.” Meski dengan perasaan campur aduk dan sedih, ia tetap bersyukur untuk dialog itu, sambil bertanya-tanya mengapa baru sekarang rekan-rekannya angkat bicara.
Memindahkan Pagar
Pendeta desa itu tidak bisa tidur. Ketika itu Perang Dunia II sedang berkecamuk, dan ia baru saja memberi tahu sekelompok tentara Amerika bahwa mereka tidak dapat menguburkan jenazah rekan mereka yang tewas di pemakaman berpagar yang terletak di samping gerejanya. Tanah makam itu hanya diperuntukkan bagi anggota gereja. Jadi, tentara-tentara itu menguburkan rekan mereka persis di luar pagar makam.
Dari Hikmat kepada Sukacita
Telepon berdering dan saya segera mengangkatnya. Yang menelepon adalah anggota tertua di gereja kami—seorang wanita yang sangat bersemangat dan pekerja keras, dengan usia hampir mencapai seratus tahun. Beliau sedang berusaha menyelesaikan penulisan buku terbarunya dan ia mengajukan beberapa pertanyaan soal penulisan kepada saya. Namun, seperti biasa, justru saya yang kemudian mengajukan banyak pertanyaan kepadanya—seputar kehidupan, pekerjaan, cinta, dan keluarga. Banyak hikmat yang bisa dipetik dari hidupnya yang berumur panjang. Beliau menasihati saya, “Jangan tergesa-gesa.” Kami pun tertawa-tawa mendengar bagaimana ia sering kali lupa menuruti nasihatnya sendiri. Cerita-ceritanya yang luar biasa sarat dengan pengalaman sukacita yang sejati.