Penulis

Lihat Semua
Poh Fang Chia

Poh Fang Chia

Poh Fang Chia menerima Yesus sebagai Juruselamatnya di usia 15 tahun. Ia rindu menulis buku-buku yang menyentuh jiwa sesamanya. Ia mulai menulis bagi Our Daily Bread pada tahun 2014 dan melayani bersama Our Daily Bread Ministries di Singapura sebagai seorang editor penulisan.

Artikel oleh Poh Fang Chia

Matahari Bersayap Dua

Selama lima tahun, sebuah stempel kuno yang terbuat dari tanah liat dibiarkan tersimpan dalam lemari di Institut Arkeologi Yerusalem. Stempel itu ditemukan dalam penggalian di bagian selatan dari tembok kota kuno Yerusalem. Namun, penelitian awal tidak berhasil menemukan arti penting dari benda yang berusia hampir 3.000 tahun tersebut. Di kemudian hari, seorang peneliti dengan cermat mengamati huruf-huruf yang tertera pada stempel itu dan menghasilkan penemuan besar. Inskripsi yang tertulis dalam bahasa Ibrani kuno itu menyatakan: “Milik Hizkia [bin] Ahas, Raja Yehuda.”

Jawaban Simon

Refuge Rabindranath telah melayani kaum muda di Sri Lanka lebih dari sepuluh tahun. Ia sering berinteraksi dengan para pemuda hingga larut malam—bermain bersama, mendengarkan, menasihati, dan mengajar mereka. Ia menikmati pelayanannya itu, tetapi terkadang ia juga merasa kecewa ketika murid-murid yang menjanjikan ternyata meninggalkan imannya. Adakalanya ia merasa seperti Simon Petrus di Lukas 5.

Mencapai Garis Finis

Pada Olimpiade Rio 2016, perhatian dunia tertuju kepada dua atlet wanita dalam lomba lari 5.000 meter. Setelah menempuh jarak sekitar 3.200 meter, Nikki Hamblin asal Selandia Baru dan Abbey D’Agostino asal Amerika Serikat sempat bertabrakan dan sama-sama jatuh. Abbey segera berdiri kembali, tetapi ia berhenti untuk menolong Nikki. Beberapa saat setelah kedua atlet tersebut kembali berlari, Abbey mulai tertatih-tatih karena kaki kanannya cedera akibat jatuh tadi. Sekarang giliran Nikki yang berhenti dan memberi semangat kepada Abbey untuk menyelesaikan perlombaan. Ketika Abbey akhirnya melewati garis finis, Nikki telah menunggu di situ untuk memeluknya. Alangkah indahnya teladan yang mereka tunjukkan dalam saling memberi semangat!

Berani Melangkah Lebih Dahulu

Tham Dashu merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Maka ia mulai pergi ke gereja—gereja yang sama dengan tempat putrinya beribadah. Namun, mereka tidak pernah pergi bersama. Di masa lalu, Tham pernah membuat putrinya tersinggung sehingga hubungan mereka pun renggang. Jadi biasanya Tham menyelinap masuk ke ruang kebaktian saat pujian sudah dinaikkan dan bergegas pergi setelah kebaktian selesai.

Adakah yang Kekal?

Seorang teman yang belum lama ini sempat melalui masa-masa yang sulit pernah menulis, “Ketika saya memikirkan tentang empat semester terakhir dari masa studi saya, begitu banyak hal yang telah berubah . . . Semua itu sangat menakutkan saya. Memang, tak ada yang bisa bertahan selamanya.”

Bukanlah Engkau

Daud telah menyusun semua rencana. Ia merancang perkakasnya. Ia mengumpulkan bahan-bahannya. Ia mengatur segala sesuatu (lihat 1Taw. 28:11-19). Namun, Bait Suci yang pertama kali dibangun di Yerusalem dikenal sebagai Bait Suci Salomo, dan bukan Bait Suci Daud.

Mengasihi dengan Sempurna

Suaranya bergetar saat menceritakan persoalan yang dihadapinya dengan putrinya. Karena prihatin dengan pergaulan putrinya, sang ibu menyita ponsel anaknya dan mengawal ke mana pun ia pergi. Hubungan mereka berdua tampaknya semakin buruk saja.

Tak Kekurangan Apa Pun

Bayangkan melakukan perjalanan tanpa membawa koper. Tidak membawa kebutuhan pokok, pakaian ganti, uang, atau kartu kredit. Rasanya tidak bijaksana dan agak menakutkan, bukan?

Menemukan Hidup

Perkataan ayah Ravi sangatlah menyakitkan hati Ravi. “Kamu itu pecundang. Kamu membuat seluruh keluarga malu.” Jika dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang berbakat, Ravi sering dianggap sebagai aib. Ia berusaha untuk unggul dalam bidang olahraga dan berhasil, tetapi ia tetap merasa seperti pecundang. Ia bertanya-tanya, Akan jadi apa aku ini? Apakah aku memang tak tertolong lagi? Bisakah aku melepaskan diri dari hidup ini tanpa rasa sakit? Pikiran-pikiran itu menghantuinya, tetapi ia tidak menceritakannya kepada siapa pun karena itu bukanlah hal yang lazim dalam budayanya. Ia telah diajar: “Pendamlah rasa sakit hatimu; tetaplah tegak meski runtuh duniamu.”