Runtuh Tembok, Timbul Kesatuan
Sejak dibangun pada tahun 1961, Tembok Berlin telah memisahkan banyak keluarga dan sahabat. Tembok yang didirikan pemerintah Jerman Timur tersebut bertujuan untuk mencegah warganya melarikan diri ke Jerman Barat. Dari tahun 1949 hingga saat tembok itu dibangun, diperkirakan lebih dari 2,5 juta warga Jerman Timur telah melarikan diri ke Barat. Pada tahun 1987, Presiden AS Ronald Reagan berdiri di depan tembok itu dan mengatakan ucapannya yang terkenal, “Runtuhkan tembok ini.” Perkataannya mencerminkan gelombang besar perubahan yang akhirnya berpuncak dengan diruntuhkannya tembok tersebut pada tahun 1989—dan membawa kepada penyatuan kembali negara Jerman yang membawa kebahagiaan bagi seluruh warga.
Menegur dengan Kasih
Teman saya melakukan banyak hal dengan baik, tetapi ada satu masalah yang dimilikinya. Semua orang tahu masalahnya. Namun, karena ia berhasil menjalankan perannya dengan sangat efektif, sifatnya yang pemarah tidak pernah benar-benar dipermasalahkan. Ia tidak pernah benar-benar ditegur karena masalah itu. Sayangnya, selama bertahun-tahun, banyak orang yang tersakiti olehnya. Ada begitu banyak hal yang dapat dicapai oleh orang itu, tetapi akhirnya sifat tersebut membuat kariernya yang menjanjikan kandas lebih cepat. Andai saja saya berani bertindak dengan menegurnya bertahun-tahun lalu.
Mengenal dan Mengasihi
Dalam artikel “Apakah Putraku Mengenalmu?”, penulis kolom olahraga Jonathan Tjarks menulis tentang perjuangannya melawan kanker stadium akhir dan kerinduannya agar orang lain dapat merawat istri dan putranya yang masih kecil dengan baik. Pria berusia 34 tahun yang percaya kepada Yesus itu menulis artikel tersebut hanya enam bulan sebelum ia berpulang. Ayah Tjarks meninggal dunia ketika ia masih muda. Ia membagikan firman Tuhan yang berbicara tentang pemeliharaan atas para janda dan yatim piatu (Kel. 22:22; Yes. 1:17; Yak. 1:27). Dalam bagian tulisan yang ditujukan kepada teman-temannya, ia menulis, “Ketika aku berjumpa denganmu di surga kelak, hanya satu yang akan kutanyakan—Apakah kau baik kepada putraku dan istriku? . . . Apakah putraku mengenal dirimu?”
Mencelakakan Diri Sendiri
Pada tahun 2021, seorang insinyur berambisi untuk menembakkan anak panah lebih jauh daripada rekor dalam sejarah, yang tercatat sejauh 618 meter. Sambil berbaring di atas dataran garam, ia menarik tali busur dari busur kaki yang dirancangnya secara khusus dan bersiap-siap meluncurkan proyektilnya, dengan harapan dapat mencetak rekor baru sejauh lebih dari 1.500 meter. Ia menghela napas dalam-dalam lalu menembakkan anak panah itu. Namun, bukannya melesat hingga ribuan meter, anak panah itu malah mendarat di kakinya dan melukainya cukup parah. Aduh!
Menemukan Ruang-Ruang Terbuka
Dalam buku berjudul Margin, Dr. Richard Swenson menulis, “Kita harus memiliki ruang untuk bernapas. Kita butuh kebebasan untuk berpikir dan kesempatan untuk memulihkan diri. Hubungan-hubungan kita dicekik oleh percepatan . . . Anak-anak kita tergeletak penuh luka di tanah, tergilas oleh niat baik kita yang berlebihan. Apakah Allah sekarang berpihak pada kepenatan? Apakah Dia tidak lagi membimbing umat-Nya ke tepi aliran air yang tenang? Siapa yang merampas ruang-ruang yang di masa lalu terbuka lebar, dan bagaimana kita dapat merebutnya kembali?” Swenson berkata bahwa kita membutuhkan “tanah” yang tenang dan subur dalam kehidupan, tempat kita dapat beristirahat di dalam Allah dan berjumpa dengan-Nya.
Bertanggung Jawab atas Dosa
Kedua mata teman saya menunjukkan apa yang saya sendiri rasakan—ketakutan! Sebagai remaja, kami sudah berperilaku buruk dan sekarang kami menciut gemetaran di hadapan ketua kamp remaja yang kami ikuti. Pria tersebut, yang mengenal baik masing-masing ayah kami, berkata dengan penuh kasih tetapi tegas tentang betapa kecewanya ayah kami nanti. Ingin rasanya kami merangkak ke bawah meja, karena merasakan besarnya tanggung jawab atas pelanggaran kami.
Ketaatan yang Membebaskan
Raut wajah gadis muda itu mencerminkan kecemasan dan rasa malu. Memasuki Olimpiade Musim Dingin 2022, kesuksesannya sebagai atlet seluncur indah tak tertandingi—serangkaian gelar juara seakan telah memastikan bahwa ia bakal meraih medali emas. Namun kemudian, hasil tes doping menunjukkan keberadaan zat terlarang dalam tubuhnya. Ekspektasi dan kecaman membebaninya begitu rupa, sehingga ia terjatuh beberapa kali di nomor free skate dan membuatnya gagal naik podium. Tidak ada medali yang berhasil diperolehnya. Sebelum skandal terjadi, gadis muda itu pernah mempertunjukkan kebebasan dan kreativitas artistiknya di atas es, tetapi sekarang tuduhan bahwa ia melanggar aturan telah menghancurkan mimpinya.
Kasih Karunia dan Perubahan
Peristiwa kriminal itu begitu mengagetkan, dan pelakunya pun dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Dalam tahun-tahun sesudahnya, si pelaku—dalam kesendiriannya dipenjara di sel yang terpisah dengan napi-napi lain—mengalami suatu proses penyembuhan jiwa dan rohani. Ia bertobat dan hubungannya dengan Tuhan dipulihkan. Hari-hari ini, ia sudah diizinkan berinteraksi dengan sesama napi, meskipun masih dibatasi. Oleh anugerah Allah, dan lewat kesaksiannya, beberapa narapidana telah menerima Yesus Kristus sebagai Juruselamat, dan menemukan pengampunan dalam Dia.
Lebih Daripada Penampilan Luar
José, seorang yang baru percaya, sedang mengunjungi gereja tempat saudara laki-lakinya berbakti. Ketika ia memasuki ruang kebaktian, saudaranya sempat terkejut saat melihatnya. Karena José mengenakan kaus, tato-tato yang memenuhi kedua lengannya terlihat jelas. Saudara José menyuruhnya untuk pulang dan mengenakan baju lengan panjang, karena banyak dari tato tersebut menunjukkan masa lalu José. Kontan José merasa dirinya sangat kotor. Namun, seorang pria kebetulan mendengarkan percakapan kedua saudara itu. Ia lalu mengajak José menemui pendeta gereja tersebut, sambil menceritakan apa yang terjadi. Sang pendeta tersenyum dan membuka beberapa kancing bajunya, lalu menunjukkan tato besar pada dadanya—jejak dari masa lalunya sendiri. Ia meyakinkan José bahwa karena Allah telah menyucikannya luar dalam, José tidak perlu menutup-nutupi lengannya.