Penulis

Lihat Semua

Artikel oleh Tim Gustafson

Berserah kepada Yesus

Pada tahun 1951, dokter menyarankan kepada Joseph Stalin untuk mengurangi beban kerja supaya kesehatannya terjaga. Akan tetapi, sang dokter justru ditangkap atas tuduhan telah memata-matai penguasa Uni Soviet itu. Diktator yang sudah menindas banyak orang dengan kebohongan itu tidak dapat menerima kebenaran, dan seperti yang sering dilakukannya—ia memilih untuk menyingkirkan orang yang menyampaikan fakta kepadanya. Namun, kebenaran tetap menang. Stalin pun wafat pada tahun 1953.

Sepatu Bot Keberuntungan

Seketika saja, Tom merasakan bunyi “klik” yang mengerikan di bawah sepatu bot tentaranya. Spontan ia langsung melompat setinggi dan sejauh mungkin. Perangkat mematikan yang tersembunyi di bawah tanah itu tidak meledak. Belakangan, tim penjinak bom menarik keluar dari tanah bahan peledak seberat tiga puluh enam kilogram di tempat itu. Tom terus memakai sepatu bot itu sampai benar-benar rusak. “Ini sepatu keberuntunganku,” begitulah ia menyebutnya.

Yesus Layak Diikuti

Ronit datang dari keluarga non-Kristen yang taat beragama. Diskusi mereka tentang hal-hal rohani terasa kering dan teoretis. “Saya terus berdoa,” katanya, “tetapi saya tidak juga mendengar jawaban Allah.”

Siapakah Aku Ini?

Kizombo duduk memandangi api unggun, sambil merenungkan pertanyaan-pertanyaan besar dalam hidupnya. Apa yang sudah kucapai? pikirnya. Dengan cepat pertanyaan itu terjawab: Sebenarnya tidak banyak. Kizombo kembali ke tanah kelahirannya untuk melayani di suatu sekolah yang didirikan ayahnya jauh di dalam kawasan hutan tropis. Ia juga mencoba untuk menuliskan kisah hidup ayahnya sebagai penyintas dua perang saudara. Siapa aku ini, merasa bisa melakukan semua ini?

Semua Jawaban

Dale Earnhardt Jr. menggambarkan momen mengerikan ketika ia menyadari ayahnya telah meninggal dunia. Legenda balap mobil Dale Earnhardt Sr. baru saja tewas dalam kecelakaan fatal di penghujung Daytona 500—perlombaan yang juga diikuti sendiri oleh Dale Jr. “Saya mengeluarkan suara yang takkan bisa saya ulangi lagi,” kata Earnhardt muda. “[Suatu] jeritan tanda syok dan duka—juga kengerian.” Lalu timbullah kenyataan yang memilukan: “Sekarang saya harus melakukan ini sendirian.”

Pesan Para Nabi

Sebelum berlangsungnya kejuaraan bisbol Seri Dunia tahun 1906, penulis kolom olahraga Hugh Fullerton membuat prediksi yang jeli. Ia menyatakan bahwa Chicago Cubs, yang diperkirakan akan juara, justru akan kalah pada pertandingan pertama dan ketiga, tetapi memenangi pertandingan kedua. Selain itu, hujan akan turun pada pertandingan keempat. Semua prediksinya itu tepat. Kemudian, pada tahun 1919, dari kemampuan analitisnya ia tahu bahwa beberapa pemain dengan sengaja mengalah dalam sejumlah pertandingan Seri Dunia. Fullerton menduga mereka telah disuap oleh para penjudi. Ia sempat dicemooh banyak orang. Namun, sekali lagi, Fullerton benar.

Kehilangan Segalanya

Waktunya sungguh tidak tepat. Setelah mendapatkan sedikit keuntungan dari bisnis membangun jembatan, monumen, dan sejumlah bangunan besar, Cesar mempunyai impian untuk memulai suatu usaha baru. Maka ia pun menjual bisnis pertamanya dan menyimpan uangnya di bank, dengan rencana untuk segera menginvestasikannya kembali. Namun, dalam kurun waktu yang singkat itu, pemerintah menyita seluruh aset yang disimpan dalam rekening-rekening bank swasta. Hanya dalam sekejap, seluruh uang tabungan Cesar menguap.

Para Saksi

Dalam puisi “The Witnesses” (Para Saksi), Henry Wadsworth Longfellow (1807–1882) menggambarkan sebuah kapal budak yang karam. “Kerangka yang terbelenggu,” demikian Longfellow meratapi para korban, yakni budak-budak tanpa nama yang tak terhitung jumlahnya. Bait penutup puisi itu berbunyi demikian, “Itulah duka para Budak, / Mereka membelalak dari jurang yang dalam; / Berseru dari makam tak dikenal, / Kami adalah para Saksi!”

Pergumulan Panjang

Ketika di negara Tun terjadi kudeta, pemerintah militer yang berkuasa mulai meneror umat Kristen dan membantai ternak mereka. Keluarga Tun kehilangan mata pencaharian dan tercerai-berai ke berbagai negara. Sembilan tahun lamanya Tun hidup di kamp pengungsian, jauh dari sanak keluarga. Tun tahu Allah senantiasa menyertainya, tetapi ia mulai merasa putus asa, karena selama hidup terpisah itu, dua anggota keluarganya meninggal dunia.