Penulis

Lihat Semua

Artikel oleh Xochitl Dixon

Iman yang Tak Tergoyahkan

Ketika Dianne Dokko Kim dan suaminya mengetahui bahwa putra mereka didiagnosis menderita autisme, ia bergumul dengan kemungkinan bahwa putranya yang menyandang disabilitas kognitif itu mungkin akan hidup lebih lama daripada dirinya. Ia berseru kepada Allah: Bagaimana keadaannya jika tidak ada aku yang merawatnya? Kemudian, Allah menghadirkan orang-orang dewasa lainnya yang juga membesarkan anak-anak penyandang disabilitas. Allah memampukan Dianne untuk menyerahkan kepada-Nya rasa bersalah yang sering meliputi hatinya, perasaannya yang tidak berdaya, dan juga ketakutan yang dialaminya. Akhirnya, dalam bukunya Unbroken Faith, Dianne menawarkan pengharapan akan hadirnya “pemulihan rohani” kepada orang-orang dewasa lainnya yang membesarkan anak-anak difabel. Saat putranya memasuki usia dewasa, iman Dianne tetap terjaga. Ia percaya bahwa Allah akan selalu menjaga dirinya dan putranya.

Hidup dengan Iman yang Penuh

Ribuan orang di dunia mendoakan Shiloh, putra Sethie yang berusia 3 tahun, yang sudah terbaring berbulan-bulan di rumah sakit. Ketika para dokter mengatakan bahwa “otak Shiloh tidak menunjukkan aktivitas yang berarti,” Sethie menelepon saya. “Terkadang, aku khawatir kalau-kalau aku tidak hidup dengan iman yang penuh,” katanya. “Aku tahu Allah sanggup menyembuhkan Shiloh dan mengizinkannya pulang ke rumah bersama kami. Aku pun pasrah apabila Allah menyembuhkannya dengan cara membawanya pulang ke surga.” Untuk meyakinkannya bahwa Allah sungguh mengerti melebihi siapa pun juga, saya berkata: “Kamu sudah berserah kepada Allah. Itu iman yang penuh!” Beberapa hari kemudian, Allah memanggil pulang putranya yang terkasih ke surga. Meski bergumul dalam pedihnya kehilangan, Sethie bersyukur kepada Allah dan berterima kasih kepada orang-orang yang telah berdoa bagi mereka. Ia berkata, “Aku percaya Allah itu tetap baik dan Dia tetap Allah.”

Pengingat yang Berguna dari Roh

Suatu kali, saya diundang untuk bernyanyi sebelum dimulainya pertandingan olahraga yang diikuti oleh salah seorang putra saya. Meski sudah menghafal lirik lagu yang akan dinyanyikan, saya tetap berlatih menyanyikannya selama beberapa minggu. Hari itu, ketika saya berjalan menuju lapangan dengan kedua tim yang bertanding berbaris di kiri-kanan saya, saya menutup mata dan berdoa. Saya mulai dengan menyanyikan beberapa baris, tetapi kemudian saya terdiam dan mematung. Saya tidak bisa mengingat lirik lagu berikutnya. Lalu, seorang pria di belakang saya membisikkan kata-kata yang saya lupakan itu. Begitu mendengar pengingat yang berguna itu, saya langsung menyanyikan seluruh lagu itu dengan penuh percaya diri.

Milik Kepunyaan Allah

Saya pernah merawat sendiri ibu saya, dan pengalaman itu sangat melelahkan bagi kami berdua, baik dari segi emosional maupun fisik. Suatu waktu, saat kami mengunjungi sebuah pameran seni, saya menatap karya seni berupa dua perahu dayung dari kayu yang dipenuhi aneka kaca tiup berwarna-warni yang terinspirasi oleh umpan pancing dan rangkaian bunga khas Jepang. Karya yang diberi nama Ikebana and Float Boats itu terletak di depan dinding hitam pada permukaan yang reflektif. Bola-bola kaca yang berbintik-bintik, bertutul, dan bergaris menyerupai bola permen karet besar, ditumpuk-tumpuk di dalam sebuah perahu yang lebih kecil. Dari lambung pernah yang lain, beragam patung kaca yang panjang, melintir, dan melengkung membubung seperti api yang menyala-nyala. Dalam proses pembuatan kaca tiup itu, sang seniman membentuk setiap potongan kaca cair dengan menggunakan api yang memurnikan.

Menyalurkan Kasih Allah

Suatu hari pada musim dingin di Michigan, seorang pengantar paket melihat seorang wanita lanjut usia sedang menyekop salju dari jalan masuk rumahnya. Pria itu lalu berhenti dan meminta izin kepada wanita berusia 81 tahun tersebut untuk menyelesaikan pekerjaan itu. Karena khawatir kalau pengantar paket itu akan terlambat mengantarkan paket-paket lainnya, wanita tua itu mengambil sekop yang lain supaya mereka menyekop bersama. Mereka bekerja bahu-membahu selama hampir 15 menit sambil disaksikan oleh tetangga-tetangga wanita itu. “Aku bersyukur atas bantuanmu,” kata sang wanita kepada pria itu, “Kehadiranmu sangat memberkatiku.”

Hina tetapi Dikasihi Allah

Pada suatu hari di gereja, saya menyapa sebuah keluarga yang sedang berkunjung. Saya berlutut di samping kursi roda gadis kecil dari keluarga itu, memperkenalkannya kepada anjing penolong saya, Callie, dan memuji kacamata serta sepatu bot merah mudanya yang cantik. Meski ia tidak dapat berbicara, senyumnya menunjukkan bahwa ia menikmati percakapan kami. Seorang gadis kecil lain menghampiri kami, tetapi menghindari kontak mata dengan teman baru saya tadi. Ia berbisik, “Tolong bilang kepadanya, aku suka gaunnya.” Saya berkata, “Kamu boleh bilang sendiri kepadanya. Dia baik, seperti kamu.” Saya menjelaskan betapa mudahnya berbicara dengan gadis tadi, meski ia berkomunikasi dengan cara berbeda. Selain itu, cara kita memandang serta tersenyum kepadanya akan membantu ia merasa diterima dan dikasihi.

Lebih Baik daripada Hidup

Setelah mengalami lagi suatu kemunduran fisik yang tak terduga, saya bergabung dengan suami dan jemaat lainnya untuk retret di pegunungan. Dengan tertatih-tatih saya menaiki anak tangga kayu menuju sebuah gereja kecil di atas bukit. Seorang diri di tengah malam yang gelap, saya berhenti untuk beristirahat sejenak di salah satu anak tangga. “Tuhan, tolong aku,” bisik saya seraya terdengar bunyi musik dari kejauhan. Saya kembali melangkah perlahan-lahan hingga tiba di sebuah ruangan yang mungil. Sambil menahan rasa sakit, saya menghela napas dengan penuh syukur karena Allah telah mendengarkan doa saya di alam terbuka!

Memberi Kembali kepada Allah

Pada suatu waktu, para pemimpin gereja kami mengajak seluruh jemaat untuk memberikan persembahan lebih, di luar persembahan mingguan, guna membangun sebuah gimnasium baru. Fasilitas tersebut akan digunakan untuk melayani keluarga-keluarga dalam lingkungan kami. Setelah mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh biaya medis yang dikeluarkan karena kondisi disabilitas yang saya alami, saya bertanya kepada suami, “Apakah kamu yakin kita bisa memberi lebih?” Ia mengangguk. “Toh, kita memberikan kepada Allah apa yang sudah menjadi milik-Nya,” katanya. “Dia akan menyediakan semua yang kita butuhkan.” Memang itulah yang Dia lakukan! Lebih dari satu dekade kemudian, jemaat kami masih merasakan anugerah dapat melayani Tuhan lewat pelayanan kami kepada para pengguna fasilitas tersebut.

Kebenaran yang Tidak Pernah Berubah

Waktu putra saya, Xavier, masih kecil, kami pernah membaca cerita kanak-kanak tentang seorang anak laki-laki yang melawan gurunya dan mengganti cara menyebut bolpoin dengan nama yang dikarangnya sendiri. Ia lalu meyakinkan teman-teman sekelasnya untuk menyebut bolpoin dengan nama karangannya tadi. Kabar tentang sebutan baru untuk bolpoin itu lalu menyebar ke seluruh kota. Akhirnya, orang-orang di seluruh negeri mengubah cara mereka menyebut bolpoin, hanya karena mereka menerima realitas yang dibuat-buat oleh anak tadi sebagai kebenaran universal.