Allah dapat Memakai Kesaksian Kita
Saya membuka sebuah kotak kenang-kenangan, lalu mengeluarkan sebuah pin kecil berwarna perak yang berbentuk kaki janin berumur 10 minggu. Saya membelai jari-jemari mungil itu, sambil mengenang pengalaman keguguran yang saya derita serta orang-orang yang berkata bahwa saya “beruntung” karena janinnya “belum terlalu besar.” Saya berduka, dengan mengingat begitu nyatanya kaki dan detak jantung bayi yang pernah saya kandung dalam rahim saya. Saya bersyukur Allah telah melepaskan saya dari depresi dan memakai kesaksian saya untuk menghibur orang-orang yang juga berduka setelah kehilangan anak mereka. Lebih dari 20 tahun setelah peristiwa keguguran tersebut, saya dan suami menamai anak ini Kai, yang dalam beberapa bahasa berarti “bersukacita”. Meski masih sedih atas kehilangan itu, saya bersyukur Allah telah memulihkan hati saya dan memakai kesaksian saya untuk menolong orang lain.
Allah Mendengarkan Kita
Seorang siswa kelas satu menelepon nomor gawat darurat 911. Operator mendengarkan anak laki-laki itu berkata, “Pak, bantu aku mengerjakan tugas ini.” Operator itu mencoba membantunya, sampai ia mendengar seorang wanita memasuki ruangan dan berkata, “Johnny, dengan siapa kamu bicara?” Johnny menjelaskan bahwa ia kesulitan mengerjakan PR matematikanya, jadi ia melakukan apa yang diajarkan ibunya apabila ia membutuhkan bantuan, yaitu menghubungi 911. Bagi Johnny, kebutuhannya saat itu layak disebut darurat. Di sisi lain, bagi si operator yang sabar, membantu Johnny mengerjakan PR menjadi prioritas utamanya waktu itu.
Semakin Menyerupai Yesus
Allah menciptakan burung hantu abu-abu besar dengan kemampuan yang luar biasa untuk menyamar. Bulunya yang berwarna perak abu-abu memiliki pola warna yang memungkinkan burung hantu itu untuk menyatu dengan kulit pohon saat bertengger di pohon. Jika ingin tetap tidak terlihat, burung hantu itu dapat langsung menyamarkan diri dan menyatu dengan lingkungan berkat bulunya tersebut.
Tindakan Kasih yang Nyata
Selama lebih dari lima tahun, seorang ibu tunggal hidup bertetangga dengan seorang pria berusia lanjut. Suatu hari, karena mengkhawatirkan keadaan wanita itu, si pria tua membunyikan bel pintu rumahnya. “Sudah seminggu saya tidak melihat Anda,” katanya. “Saya hanya ingin memastikan Anda baik-baik saja.” “Pengecekan” yang dilakukan pria itu mendorong semangat si ibu. Karena pernah kehilangan ayahnya di usia belia, wanita itu sangat menghargai perhatian yang ditunjukkan oleh pria baik hati tersebut.
Tahun-Tahun yang Bermakna
Saat bersiap-siap menghadiri ibadah untuk mengenang ibu saya, saya berdoa agar saya mempunyai kata-kata yang tepat untuk menggambarkan tahun-tahun masa hidup beliau. Saya merenungkan saat-saat ketika hubungan kami sedang berjalan baik maupun renggang. Saya memuji Allah untuk hari yang indah ketika ibu saya mau menerima Tuhan Yesus sebagai Juruselamatnya setelah melihat perubahan yang dikerjakan Allah dalam diri saya. Saya bersyukur kepada-Nya karena telah menolong kami bertumbuh bersama di dalam iman. Saya juga mengucap syukur untuk orang-orang yang telah bersaksi bagaimana ibu saya menguatkan dan mendoakan mereka sambil melimpahi mereka dengan kebaikan. Ibu saya yang tidak sempurna telah menjalani tahun-tahun yang bermakna, suatu kehidupan yang dijalani dengan baik bagi Tuhan Yesus.
Anugerah yang Mengubah Hidup
Saya dan suami menyapa kaum muda di gereja kami sambil membagikan Alkitab kepada mereka. Saya berkata, “Allah akan menggunakan anugerah tak ternilai ini untuk mengubah hidup kalian.” Malam itu, beberapa siswa berkomitmen untuk membaca Injil Yohanes bersama-sama. Kami rajin mengajak mereka untuk membaca Alkitab dan mengajarkan mereka firman Tuhan setiap minggu di rumah kami. Lebih dari 10 tahun kemudian, saya bertemu dengan salah satu siswa kami. “Saya masih menggunakan Alkitab pemberianmu,” katanya. Saya bersyukur melihat bukti pertumbuhan iman di dalam kehidupannya.
Setiap Momen Itu Berharga
Ketika kapal Titanic menabrak gunung es pada April 1912, Pendeta John Harper berhasil mengamankan tempat untuk putrinya yang berusia enam tahun dalam salah satu sekoci yang jumlahnya terbatas. Ia lalu memberikan rompi pelampungnya kepada seorang penumpang lain dan memberitakan Injil kepada setiap orang yang mau mendengarkannya. Ketika kapal itu tenggelam dan ratusan orang menantikan penyelamatan yang tak kunjung datang, Harper berenang dari satu orang ke orang lain sambil berkata, “Percayalah kepada Tuhan Yesus Kristus dan engkau akan selamat” (Kis. 16:31).
Ketaatan Penuh Kasih
Pada upacara pernikahan kami, pendeta bertanya kepada saya, “Bersediakah engkau berjanji untuk mencintai, menghormati, dan menaati suamimu, hingga maut memisahkan kalian?” Sambil menatap calon suami saya, saya berbisik, “Taat?” Kami sudah membangun hubungan kami berdasarkan rasa cinta dan hormat—bukan ketaatan buta, seperti yang saya pikir dimaksudkan dalam janji pernikahan itu. Saya betul-betul menggumulkan makna kata taat tersebut, sebelum kemudian berkata, “Ya, saya bersedia.”
Kasih Allah Tak Terkalahkan
Ketika Xavier, anak saya yang sekarang sudah dewasa, masih duduk di bangku taman kanak-kanak, ia pernah membentangkan tangannya lebar-lebar dan berkata, “Aku sayang Mama sebesar ini.” Lalu saya membentangkan tangan saya lebih lebar lagi dan berkata, “Mama menyayangimu sebesar ini.” Sambil berkacak pinggang, Xavier berkata, “Aku sayang Mama lebih dulu.” Saya menggeleng. “Mama sudah menyayangimu sewaktu Allah menaruhmu dalam rahim Mama.” Xavier melotot. “Oke, Mama menang.” “Kita berdua menang,” kata saya, “karena Yesus mengasihi kita berdua terlebih dulu.”