Penulis

Lihat Semua

Artikel oleh Xochitl Dixon

Persis Seperti di Iklan

Dalam suatu liburan, saya dan suami mendaftarkan diri mengikuti wisata arung jeram santai di Sungai Chattahoochee, Georgia, Amerika Serikat. Hari itu saya mengenakan sandal, gaun terusan santai, dan topi lebar. Betapa kagetnya kami saat mengetahui bahwa wisata itu akan melewati sebuah jeram kecil yang cukup deras. Itu tidak ada di iklan yang kami lihat! Syukurlah kami serakit dengan pasangan yang sudah cukup berpengalaman mengarungi jeram. Mereka mengajari suami saya dasar-dasar mendayung dan berjanji mengarahkan kami untuk tiba di tujuan dengan selamat. Meski memakai pelampung, saya tetap menggenggam erat pegangan plastik pada rakit itu sambil berteriak-teriak. Setibanya di tepian sungai yang berlumpur dan turun dari rakit, saya harus membuang air dari dalam tas, sementara suami membantu saya memeras ujung gaun saya yang basah kuyup. Kami sangat senang, meskipun perjalanan itu tidak seperti yang diiklankan.

Bapa yang Sempurna

Hari itu, di lorong pertokoan yang padat, saya sedang bergumul mencari kartu ucapan yang tepat untuk Hari Ayah. Meskipun saya dan ayah sudah berdamai setelah mengalami ketegangan bertahun-tahun, saya tak pernah merasa dekat dengan ayah.

Bertahan dengan Damai Sejahtera

Dalam upaya saya untuk terus mempercayai Allah di tengah pergumulan dengan rasa sakit yang kronis, kemunduran sekecil apa pun terasa seperti pukulan telak. Serangan demi serangan seakan menghantam saya dari samping, belakang, dan juga depan. Saat kekuatan saya melemah dan pertolongan tidak segera datang, melarikan diri dan bersembunyi tampaknya merupakan ide cemerlang. Namun, karena tak bisa melepaskan diri dari rasa sakit, mengubah keadaan, atau mengabaikan emosi saya, saya belajar sedikit demi sedikit untuk bersandar kepada Allah yang menopang saya melalui semua itu.

Dipakai oleh Allah

Ketika guru sekolah anak saya meminta saya untuk melayani sebagai pendamping dalam sebuah kamp, saya merasa ragu. Bagaimana saya bisa menjadi panutan bagi anak-anak dengan banyaknya kesalahan saya di masa lalu dan saya pun masih bergumul dengan kebiasaan-kebiasaan lama saya yang tidak baik? Allah memang menolong saya untuk mengasihi dan membesarkan anak saya, tetapi saya ragu Dia dapat memakai saya untuk melayani anak lain.

Hanya dengan Doa

Di suatu malam yang larut, seorang teman yang sedang menjalani perawatan kanker menelepon saya. Isak tangisnya yang tak tertahankan membuat saya ikut menitikkan air mata dan berdoa dalam hati. Apa yang harus kulakukan, Tuhan?

Sang Pemberi Pertumbuhan

Suatu hari, saya melihat sesuatu yang tidak saya duga sebelumnya. Ada enam tangkai bunga bakung kuning yang cerah menjulang di antara dua batu besar di sisi kanan jalan masuk ke rumah kami. Karena tidak pernah menanam, memberi pupuk, atau sengaja menyirami bunga itu, saya tidak tahu bagaimana atau mengapa tanaman itu bisa tumbuh di halaman kami.

Takkan Tumbang

Sebagai orang kelahiran California, wilayah yang selalu disinari matahari, saya tidak menyukai cuaca dingin. Namun, saya sangat suka melihat foto-foto salju yang indah. Saya senang ketika teman saya mengirimkan foto sebatang pohon muda yang terlihat dari jendela kamarnya di musim dingin. Kekaguman saya berubah menjadi kesedihan saat melihat dahan-dahan pohon itu merunduk karena dibebani butiran-butiran es yang berat.

Memberi Sepenuh Hati

Ketika anak saya, Xavier, masih berumur enam tahun, seorang teman mengajak anaknya yang masih balita main ke rumah kami. Xavier ingin memberikan mainan kepada anak itu. Saya senang melihat kemurahan hatinya. Ia bahkan menawarkan sebuah boneka langka yang pernah dibelikan ayahnya. Menyadari bahwa boneka itu sangat bernilai, teman saya berusaha menolak dengan sopan. Namun, Xavier tetap menaruh boneka itu ke tangan si anak sambil berkata, “Papa memberiku banyak sekali mainan untuk aku bagikan.”

Selalu Siap Sedia

Suami saya sedang bekerja di kantornya ketika saya menerima kabar tentang diagnosis kanker ibu saya. Saya pun mengirim pesan singkat kepada suami saya dan mencoba untuk menghubungi beberapa teman dan keluarga. Tidak ada yang siap sedia saat itu. Dengan gemetar, saya menangis tersedu-sedu dan berseru, “Tolong aku, Tuhan.” Kepastian yang Allah berikan bahwa Dia menyertai saya sungguh menghibur saat saya merasa sangat sendirian dalam menghadapi momen-momen itu.