Cahaya Pengharapan
Salib merah berkilau milik ibu saya seharusnya tergantung di sebelah tempat tidur beliau di pusat perawatan kanker. Selain itu, seharusnya saya menyiapkan diri untuk mengunjunginya pada masa liburan di sela-sela jadwal perawatannya. Menikmati satu hari lagi bersama ibu saya adalah hadiah Natal yang saya dambakan. Namun, saya malah berada di rumah . . . menggantungkan salib milik beliau pada sebatang pohon Natal imitasi.
Komitmen Allah yang Menghibur
Bertahun-tahun lalu, keluarga kami mengunjungi tempat bernama Four Corners (Empat Sudut), satu-satunya wilayah di Amerika Serikat tempat empat negara bagian bertemu di satu lokasi. Suami saya berdiri di bagian bertanda Arizona. Putra sulung kami, A.J., melompat ke bagian Utah. Putra bungsu kami, Xavier, memegang tangan saya ketika kami bersama-sama menginjak wilayah Colorado. Ketika saya bergeser ke bagian New Mexico, Xavier bercanda dengan berkata, “Ya ampun, Mama meninggalkanku di Colorado!” Kami tertawa saat menyadari bahwa kami sebenarnya berada bersama sekaligus terpisah di empat negara bagian. Sekarang, setelah kedua putra kami beranjak dewasa dan tidak lagi tinggal bersama kami, saya semakin menghargai janji Allah untuk berada dekat dengan seluruh umat-Nya, ke mana pun mereka melangkah.
Merefleksikan Terang Anak Allah
Setelah pertengkaran kami, akhirnya ibu saya setuju untuk bertemu di sebuah tempat yang jaraknya lebih dari satu jam perjalanan dari rumah saya. Namun, setiba saya di sana, beliau sudah meninggalkan tempat itu bahkan sebelum saya tiba. Dalam kemarahan, saya menulis pesan untuknya. Namun, saya langsung merevisinya setelah merasa bahwa Allah mengingatkan saya untuk menanggapi dengan kasih. Setelah ibu saya membaca pesan yang sudah direvisi itu, ia menelepon saya. “Kau sungguh sudah berubah,” katanya. Allah telah memakai pesan saya untuk menggerakkan ibu saya bertanya tentang Yesus. Akhirnya, beliau menerima Dia sebagai Juruselamat pribadinya.
Celikkan Mata Hatiku
Pada tahun 2001, seorang bayi prematur bernama Christopher Duffley membuat para dokter terkejut setelah berhasil bertahan hidup. Pada usia lima bulan, ia dimasukkan ke panti asuhan sebelum akhirnya diadopsi oleh bibinya sendiri. Seorang guru menemukan bahwa pada usia empat tahun Christopher dapat bernyanyi dengan nada sempurna meski ia buta dan mengidap autisme. Enam tahun kemudian di gereja, Christopher berdiri di atas panggung dan menyanyikan lagu “Open the Eyes of My Heart” (Celikkan Mata Hatiku). Videonya ditonton oleh jutaan orang. Pada tahun 2020, ia menyatakan keinginannya untuk menjadi duta penyandang disabilitas. Ia terus membuktikan bahwa segalanya selalu mungkin ketika mata hatinya terbuka terhadap rencana Allah.
Aku Bisa Melihat-Mu!
Ahli kacamata membantu Andreas yang berusia tiga tahun memasang kacamata pertamanya. “Coba lihat ke cermin,” katanya. Andreas memandang pantulan dirinya di cermin, kemudian menoleh ke arah ayahnya dengan wajah gembira dan senyuman lebar. Lalu sang ayah menyeka air mata yang membasahi pipi putranya dan bertanya, “Apa ada masalah?” Andreas memeluk leher ayahnya, sambil berkata, “Aku bisa melihat Ayah.” Ia menarik tubuhnya, mendongak, dan menatap mata ayahnya. “Aku bisa melihat Ayah!”
Hati yang Rela Memberi
Pada hari terakhir kami di Wisconsin, seorang teman mengajak Kinslee, anaknya yang berusia 4 tahun, untuk mengucapkan salam perpisahan. “Aku tidak mau tante pindah,” ucap Kinslee. Saya memeluknya dan memberinya hadiah sebuah kipas berbahan kanvas yang dilukis dengan tangan. “Kalau kamu kangen dengan tante, pakai saja kipas ini dan ingatlah tante selalu menyayangimu.” Kinslee bertanya apakah ia boleh mendapatkan kipas kertas di dalam tas saya saja. “Sayang, kipas itu sudah rusak,” ujar saya. “Tante ingin memberimu kipasku yang paling bagus.” Saya tidak menyesal telah memberi Kinslee kipas favorit saya. Melihatnya tersenyum sudah membuat saya bahagia. Beberapa waktu kemudian, Kinslee memberi tahu ibunya bahwa ia sedih karena saya menyimpan kipas yang rusak. Akhirnya mereka pun mengirimi saya kipas baru yang indah berwarna ungu. Pemberian yang tulus ini membuat Kinslee kembali bersukacita. Saya pun turut bersukacita.
Seperti Yesus
Pada tahun 2014, beberapa ahli biologi menangkap sepasang kuda laut kerdil berwarna jingga di Filipina. Mereka membawa kedua makhluk laut itu beserta rumah mereka yang berupa karang kipas laut jingga ke Akademi Sains California di San Francisco. Para ilmuwan ingin mengetahui apakah kuda laut kerdil dilahirkan dengan warna mengikuti induknya ataukah lingkungannya. Ketika kuda laut kerdil melahirkan bayi berwarna cokelat kusam, para ilmuwan menempatkan karang kipas laut berwarna ungu ke dalam tangki. Meski induk kuda laut kerdil berwarna jingga, bayi-bayi mereka berubah warna sesuai dengan warna ungu kipas laut. Karena mereka sangat rentan, kelangsungan hidup mereka bergantung pada kemampuan yang Allah berikan kepada mereka untuk membaur dengan lingkungan sekitar.
Kuasa Kristus
Pada tahun 2013, sekitar enam ratus orang saksi mata menyaksikan Nik Wallenda, seorang pemain akrobat udara, berjalan di atas tali yang membentang untuk melintasi ngarai selebar hampir 425 meter di dekat Grand Canyon. Wallenda menapakkan kaki-kakinya ke atas kabel baja setebal 5 cm dan mengucap syukur kepada Tuhan Yesus untuk pemandangan yang indah sementara kamera pada kepalanya terarah ke lembah di bawahnya. Ia berdoa dan memuji Tuhan sambil melangkah melintasi ngarai dengan tenang, seolah-olah sedang berjalan santai di atas trotoar. Ketika angin bertiup kencang, ia berhenti dan berjongkok sejenak. Lalu ia bangkit lagi dan mengembalikan keseimbangannya, bersyukur kepada Allah yang “menenangkan kabel itu”. Dalam setiap langkah di atas rentangan kabel itu ia menunjukkan ketergantungannya kepada kuasa Kristus di hadapan semua orang yang mendengarkannya saat itu, dan juga sekarang ketika videonya ditonton di seluruh dunia.
Allah Selamanya Setia
Ketika Xavier masih duduk di bangku sekolah dasar, saya biasa mengantar-jemput dirinya. Suatu hari, terjadi sesuatu yang di luar rencana. Saya terlambat menjemputnya. Setelah memarkir mobil, saya pun berlari tergesa-gesa ke ruang kelasnya. Saya menemukannya sedang duduk di sebelah seorang guru sambil memeluk tasnya. “Maafkan Mama, Mijo. Kamu baik-baik saja?” Ia menghela napas. “Tidak apa-apa, Ma, tapi aku marah karena Mama terlambat.” Saya tidak menyalahkannya. Saya juga marah kepada diri saya sendiri. Saya menyayangi putra saya, tetapi saya tahu saya akan sering mengecewakannya. Saya juga tahu suatu hari nanti ia mungkin akan merasa kecewa kepada Allah. Karena itu saya berusaha keras untuk mengajarinya kebenaran bahwa Allah tidak pernah dan tidak akan pernah ingkar janji.