Rambutnya sudah putih dan kulitnya keriput, tetapi stamina dan ketahanannya terbilang luar biasa. Setiap hari ia masih berjalan kaki minimal 2 kilometer. Agar tujuan itu tercapai, bila hendak ke kantor, ia sengaja turun dari angkutan umum beberapa halte sebelum tujuan. Dalam sebuah acara lintas alam yang rutenya cukup sulit, ia tiba di garis finis jauh lebih dulu dibandingkan para peserta lain yang jauh lebih muda, bahkan ikut sibuk menolong dan mencarikan obat bagi rekan yang jatuh, terluka, atau digigit serangga.

Matthew Tan tercatat sebagai staf tertua di kantor ODB Indonesia, sekaligus di kantor ODB seluruh dunia. Tahun 2018 ini usianya akan genap 82 tahun. Semua orang menyapanya Mushi (sebutan pendeta dalam bahasa Mandarin). Ia sudah lama membantu pelayanan ODB Indonesia. Setelah emeritus dari posisi sebagai gembala sebuah gereja di tahun 2001, beliau diajak bergabung sebagai pengurus yayasan sekaligus editor tetap untuk renungan berbahasa Mandarin. Meski usianya paling senior dan pengalamannya sudah sangat banyak, Mushi tidak lantas memandang remeh rekan-rekannya yang lebih muda. Ia justru senang belajar dari mereka.

“Saya bersyukur bisa menjadi bagian dari ODB. Para pemimpin saya memberi teladan untuk taat dan setia. Rekan-rekan kerja saya sudah menjadi seperti keluarga saya sendiri. Mereka bersedia menolong saya untuk dapat melayani dengan lebih baik. Salah satu contoh sederhana, saya ditolong untuk bisa menggunakan komputer dan internet sendiri di usia 65 tahun!” cerita Mushi bersemangat. Tawanya lepas, mengingat bagaimana ia pertama kali belajar memakai alat yang tidak pernah ia gunakan sebelumnya. Tidak mudah menyesuaikan diri dengan cara kerja generasi yang lebih muda, tetapi dengan ketekunan, kini ia bisa menggunakan komputer untuk menyunting renungan, membuat presentasi khotbah, berkomunikasi dengan staf di negara lain melalui e-mail, dan sebagainya. Semangat belajar dan ketekunannya yang tinggi menjadi inspirasi tersendiri bagi rekan-rekan kerjanya.

Saat ini staf ODB Indonesia memiliki rentang usia yang cukup lebar dan hampir separuhnya adalah generasi milenial! Masing-masing memiliki latar belakang keluarga, pendidikan, dan pengalaman yang tak sama. Pola pikir dan cara kerja yang berbeda antar generasi menjadi tantangan tersendiri dalam bekerja sama sebagai satu tim. Namun, dalam keragaman itulah setiap orang bisa belajar saling menghargai dan memperhatikan kepentingan sesamanya (Filipi 2:1-4).

Tidak banyak yang bisa dikerjakan dan hanya sedikit pertumbuhan yang bisa dicapai jika kita hanya mau berada di tengah orang-orang yang sama dengan kita. Sama seperti anggota tubuh yang berbeda-beda, hanya ketika kita menyadari peran unik kita dan bersatu hati untuk saling melengkapi, barulah kita dapat bersama-sama mewujudkan visi yang Tuhan berikan (1 Korintus 12:18).