Dikasihi, Berharga, Diberkati
Sebagai remaja, Malcolm memang tampak percaya diri. Namun, kepercayaan dirinya itu hanyalah topeng. Sesungguhnya kondisi keluarga yang kacau-balau membuatnya selalu takut, haus akan penerimaan, dan merasa bahwa permasalahan dalam keluarganya merupakan kesalahannya (sekalipun itu tidak benar). “Sudah sejak lama,” katanya, “di setiap pagi aku masuk ke kamar mandi, menatap wajahku di cermin, dan berkata kepada diriku sendiri, ‘Kau bodoh, kau jelek, semua ini salahmu.’”
Oleh Belas Kasihan Allah
Kemarahan saya menjadi-jadi ketika seorang wanita memfitnah, menyalahkan, dan menggosipkan saya. Saya ingin semua orang tahu apa yang telah ia lakukan—agar ia menderita seperti saya menderita akibat perlakuannya. Saya begitu benci kepadanya sampai-sampai kepala saya sakit. Namun, ketika saya mulai berdoa agar sakit kepala saya sembuh, Roh Kudus menegur saya. Bagaimana mungkin saya merencanakan balas dendam sementara saya juga memohon pertolongan Allah? Jika saya percaya Dia memperhatikan saya, mengapa saya tidak percaya bahwa Dia dapat mengatasi situasi saya saat itu? Karena menyadari bahwa orang yang terluka sering kali justru menyakiti orang lain, saya berdoa meminta Allah menolong saya agar dapat memaafkan wanita tersebut dan berusaha berdamai dengannya.
Berserah kepada Kemurahan Tuhan
Ketika hidup yang tadinya tenang-tenang saja, tiba-tiba digoncangkan oleh kepergian orang yang dikasihi, dunia menjadi gelap gulita dan kita kehilangan pegangan yang selama ini menjadi tempat nyaman kita. Mendadak hidup terasa begitu rapuh. Namun di sisi lain, kehidupan harus terus berjalan.
Aku Tidak Akan Melupakan Engkau
Lupa. Kata sederhana yang sering dialami dalam hidup. Kita sendiri juga sering melupakan sesuatu, atau seseorang. Tapi bila kita yang dilupakan, tentunya tidak enak. Apalagi dilupakan oleh Tuhan. Seringkali kita merasa, dalam penderitaan dan kesusahan kita, orang-orang melupakan kita, bahkan Tuhan melupakan kita. Benarkah demikian?
Perang Benar-Benar Sudah Berakhir
Selama dua puluh sembilan tahun setelah berakhirnya Perang Dunia II, Hiroo Onoda bersembunyi di hutan belantara dan menolak untuk percaya bahwa negaranya sudah menyerah. Dahulu, para petinggi militer Jepang mengirim Onoda ke pulau Lubang yang terpencil di Filipina dengan perintah untuk memata-matai pasukan Sekutu. Lama setelah perjanjian perdamaian ditandatangani dan perang berakhir, Onoda tetap tinggal dalam hutan belantara tersebut. Pada tahun 1974, komandan Onoda datang ke pulau itu untuk menemuinya dan meyakinkannya bahwa perang benar-benar sudah berakhir.