Cinta Seperti Nyala Api
Penyair, pelukis, dan pencetak William Blake menikmati empat puluh lima tahun kehidupan pernikahan bersama istrinya, Catherine. Mereka selalu bekerja sama sejak hari pernikahan mereka sampai kematiannya pada tahun 1827. Catherine mewarnai sketsa-sketsa yang dibuat William, dan kesetiaan mereka bertahan melewati masa-masa penuh kemiskinan dan tantangan. Bahkan pada minggu-minggu terakhir ketika kondisi kesehatannya semakin menurun, Blake tetap berkarya, dan sketsa terakhirnya adalah wajah istrinya. Empat tahun kemudian, Catherine meninggal dunia sambil menggenggam pensil milik suaminya.
Tetapi Aku Berkata Kepadamu
“Ibu tahu apa yang mereka katakan. Tapi, Ibu bilang sama kamu . . .” Waktu masih kecil, mungkin ribuan kali saya mendengar ibu saya mengucapkan petuah seperti itu. Konteksnya selalu soal tekanan dari teman sebaya. Ibu mencoba mengajarkan kepada saya untuk tidak begitu saja ikut arus. Namun, meski bukan anak-anak lagi, mentalitas untuk ikut arus masih cukup kuat bercokol dalam diri ini. Contohnya nasihat ini: “Tempatkanlah dirimu di antara orang-orang yang berpandangan positif.” Meski kalimat itu sudah umum, kita patut mengujinya dengan bertanya: “Apakah itu sesuai dengan ajaran Kristus?”
Persoalan Hati
“Coba Anda lihat, Saudara Tim.” Teman saya, Sam, seorang pendeta di Ghana, mengarahkan senternya ke benda berukir yang disandarkan pada sebuah pondok yang dindingnya terbuat dari lumpur. Ia berbisik, “Inilah berhala desa ini.” Setiap Selasa sore, Sam mengunjungi desa terpencil itu untuk membagikan firman Tuhan.
Hadiri Temu Teman Jelajah 1 & 2 Tesalonika
Ayo ikutan Temu Teman Jelajah Kitab 1 & 2 Tesalonika: Kamis, 26 Januari 2023, pk. 19.30 - 21.00 WIB, bersama Ps. Sim Kay Tee, tema "Yang Dirindukan Tuhan bagi Gereja-Nya", dan dapatkan 1 jilid buku Teman Jelajah!
Tak Pernah Terlambat
Saat mengunjungi sebuah kota kecil di Afrika Barat, pendeta saya yang berkebangsaan Amerika memastikan dirinya datang tepat waktu untuk kebaktian Minggu pukul 10.00. Meski demikian, ia mendapati ruang ibadah di gereja sederhana tersebut kosong. Jadi ia menunggu. Satu jam. Dua jam. Akhirnya, ketika pendeta setempat tiba setelah menempuh perjalanan panjang, diikuti beberapa anggota paduan suara dan sekelompok penduduk kota yang ramah, ibadah pun dimulai sekitar pukul 12.30, “setelah genap waktunya”, demikian kata pendeta saya. “Roh Kudus menyapa kami, dan Allah tidak terlambat.” Pendeta saya mengerti budaya di sana berbeda karena alasan-alasan yang wajar.