
Hidup dan Mati dalam Kristus
Di hadapan regu tembak, Fyodor Dostoesvsky menjalani saat-saat terakhir hidupnya dengan tenang. Dostoevsky, seorang yang beriman kepada Yesus, dianggap sebagai salah satu penulis terbesar dalam dunia literatur. Novelnya yang monumental, The Brothers Karamazov, menggali tema-tema seputar Allah, kehidupan, dan kematian. Menjelang kematiannya, konon Dostoevsky “berbicara tentang Kristus dengan sukacita yang menggebu-gebu.” Senapan-senapan pun dikokang. “Siap! . . . Bidik . . .”

Perang Kue Kering
Dari semua hal-hal konyol yang menyebabkan negara-negara saling berperang, mungkinkah kue kering menjadi penyebab yang terburuk? Pada tahun 1832, di tengah ketegangan antara Prancis dan Meksiko, sekelompok tentara Meksiko mengunjungi sebuah toko kue kering Prancis di Kota Meksiko dan mencicipi semua produknya tanpa membayar. Meski detail peristiwanya cukup rumit (ditambah berbagai provokasi lain yang memperburuk masalah), yang kemudian terjadi sebagai akibatnya adalah Perang Prancis-Meksiko yang pertama (1838–39), yang dikenal sebagai Perang Kue Kering, suatu konflik yang mengakibatkan tewasnya lebih dari 300 tentara. Sungguh menyedihkan bagaimana momen kemarahan sekejap dapat menimbulkan bencana begitu besar.

Pergi Bersama Allah
Dalam The Courier, sebuah film yang terinspirasi dari peristiwa nyata, tokoh utama Greville dihadapkan pada keputusan sulit. Ia mengetahui bahwa seorang teman dekatnya akan ditangkap dan kemungkinan besar akan menghadapi hukuman penjara yang penuh siksaan. Greville dapat menyelamatkan dirinya dari nasib yang sama jika ia segera meninggalkan negara itu dan menyangkal pernah mengenal temannya tadi. Namun, karena tergerak oleh belas kasihan, Greville menolak untuk pergi dan memilih dipenjara. Dengan setia ia rela ikut menderita bersama dengan temannya. Keduanya menolak untuk mengkhianati satu sama lain. Pada akhirnya, Greville dibebaskan sebagai sahabat yang hidupnya berantakan, tetapi teruji kesetiaan dan ketulusannya.

Berbagi Bahan-Bahan Rohani
Tempat dan akomodasi yang kami gunakan untuk acara pertemuan kepemimpinan di pusat kota Chicago terasa sangat kontras dengan keadaan serba berkekurangan yang saya temui dalam perjalanan ke sana—dan itu termasuk orang-orang miskin yang kekurangan makanan dan tempat tinggal. Kesenjangan itu menolong saya untuk membayangkan dan merumuskan hal-hal yang perlu kami sertakan dalam perencanaan lembaga kami, yang sesuai dengan visi untuk melayani kota ini dan tempat-tempat lain—yakni untuk menghadirkan bahan-bahan rohani (apa pun yang diberikan Allah untuk dapat menyebarkan pesan tentang kasih dan keselamatan-Nya) di tempat-tempat yang paling membutuhkannya.
