Rosi L. Simamora

Eben mengecek panggilan penumpang di aplikasinya, dan memutuskan mengambilnya. Ini yang terakhir, pikirnya. Ia merasa terkuras dan ingin pulang. Hampir dua tahun ini, dunia tahu-tahu berantakan dihantam Covid 19. Hidup bisa sekonyong-konyong menikung tajam dan berubah drastis. Kehilangan mewujud dalam segala rupanya—kehilangan pekerjaan, sahabat, keluarga, bahkan nyawa sendiri.

Penumpangnya kali ini sepasang orang tua. Dari wajah mereka, Eben langsung tahu keduanya tidak sehat. Ia membukakan pintu mobil, tetapi si ibu malah menjelaskan kondisi mereka. Bahwa mereka positif Covid. “Yang memesankan taksi putra kami. Ia tidak mengantar sendiri karena takut tertular. Jadi, kami mengerti kalau Mas keberatan.”

Tanpa berpikir dua kali, Eben menolong keduanya naik ke mobil lalu meluncur ke rumah sakit. Baru berbelok di gerbang, kerumunan orang langsung tampak di sekitar gedung UGD. “Bu, biar saya yang mendaftarkan. Ibu dan Bapak di mobil saja.”

Namun rupanya UGD dan kamar rawat penuh, kalaupun menunggu, entah baru kapan dapat tempat. Mendengar itu, suami-istri itu langsung pucat. Mereka menelepon anak-anak, tetapi tidak satu pun yang bisa datang. “Mari saya antar cari rumah sakit,” ucap Eben.

Penuh. Penuh. Penuh.

“Ibu tidak jelaskan ke anak-anak kondisi kita?” tanya sang suami.

“Sudah. Berkali-kali.” Sunyi. “Sudahlah, Yah, tidak usah dipikirkan, kita jalani saja.”

Sang suami mendesah kecewa. “Ayah merasa ditinggalkan.”

Mereka terus berkeliling, tetapi tak ada satu pun kamar yang kosong. Di jok belakang percakapan telah tandas, telepon pun sudah lama membisu. Malam menua.

“Kita pulang saja, Nak Eben.”

Eben mengangguk muram. “Baik, Bu. Nanti di Saharjo kita belok sebentar. Akhirnya ada juga teman yang bersedia meminjamkan tabung oksigen. Untuk berjaga-jaga. Bagaimana, Bu?”

Tatapan mereka bertemu di spion, dan dengan mata berkaca-kaca si ibu mengangguk penuh terima kasih.

***

Sepanjang perjalanan pulang ke rumahnya sendiri, Eben terus memikirkan pasangan lansia tadi. Apa yang akan terjadi pada mereka? Bagaimana kalau malam ini si suami gagal napas? Siapa besok yang membantu mereka mencari kamar rumah sakit? Bagaimana kalau pertolongan datang terlambat?

“Ayah merasa ditinggalkan,” begitu kata si bapak tadi. Mungkin yang dimaksud adalah ditinggalkan anak-anak mereka, tetapi bagi Eben, ucapan itu menohok lebih dalam lagi. Bahwa kita telah ditinggalkan sendirian oleh Allah. Di manakah Allah dalam semua ini? Benarkah hidup hanya seperti yang terlihat sekarang ini? Kapan pertolongan datang? Sanggupkah kita bertahan?

Di manakah Allah dalam semua ini? Benarkah hidup hanya seperti yang terlihat sekarang ini? Kapan pertolongan datang? Sanggupkah kita bertahan?

Hanya dalam sebulan segalanya memburuk dengan cepat. Mulai dari munculnya varian Covid baru yang mudah menular dan lebih agresif, anak-anak yang semakin banyak terpapar, antrean oksigen yang makan waktu berjam-jam tetapi akhirnya banyak yang kalah cepat dengan ajal. Dan yang baru saja Eben saksikan tadi: orangtua yang dibiarkan berjuang sendiri.

Entah mengapa, hatinya mencelus menyadari keluarga dipisahkan oleh rasa takut seperti ini. Betapa gelap rasanya masa pandemi ini. Tak sampai dua tahun yang lalu kita mengira hanya berhadapan dengan virus penyakit, namun dalam  perjalanannya yang singkat, Covid 19 berubah menjadi momok yang sanggup menceraiberaikan manusia hingga ke unit paling kecil: keluarga.

Lalu, di manakah Allah dalam semua ini?

Ketika pertanyaan itu tak juga surut, Eben teringat satu kitab dalam Alkitab, di mana nama Allah tidak disebutkan satu kali pun. Kitab Ester.

Kisah Ester mengambil tempat di tengah kehidupan yang pelik bagi umat Allah. Jalan ceritanya tak bisa ditebak, dibelokkan dan dijungkirbalikkan oleh hal-hal yang seolah kebetulan dan natural. Harapan datang sebentar lalu direnggut kembali, terus berulang seperti itu. Mirip dengan kondisi kita sekarang ini.

Bukan hanya itu. Di titik kritis cerita Ester, yaitu ketika Haman memutuskan untuk memusnahkan orang Yahudi, tak satu pun upaya Ester dan Mordekhai berhasil mengubah situasi. Namun, ketika sepertinya tidak ada jalan keluar, diceritakan bahwa Raja Ahasyweros yang tidak bisa tidur minta dibacakan kitab pencatatan sejarah. Dan ketika itulah ia diingatkan tentang jasa Mordekhai yang pernah menyelamatkan nyawanya (Ester 6:1-3).

Dan begitu saja, cerita mengalami turning point. Bukan karena hasil perbuatan tokoh-tokoh ceritanya, melainkan semata-mata perbuatan Allah yang namanya tidak satu kali pun disebutkan di dalam cerita. Barulah di penghujung cerita, ketika semua telah selesai, kita dapat dengan jelas melihat jejak-jejak perbuatan Allah yang tetap memegang janji-Nya kepada umat-Nya dalam hening.

Eben tercenung, ia menyadari kemiripan kondisi sekarang dengan alur cerita Ester.  Berbagai kebijakan pemerintah telah diterapkan untuk menahan laju penyebaran virus Covid, tetapi angka kasus tetap melejit. Berbagai upaya pendukung terus digalakkan, baik mengadakan vaksinasi, pengisian oksigen gratis, fasilitas-fasilitas isoman baru, namun angka kematian masih menciutkan nyali. Berbagai cerita tentang orang-orang yang telah menegakkan prokes dengan penuh disiplin, namun tetap saja terpapar.

Apakah seperti dalam cerita Ester, Allah sekarang juga bekerja di balik semua kengerian berjudul Pandemi Covid 19 ini? Benarkah kita tidak boleh berhenti pada apa yang kita lihat sekarang, karena Allah sesungguhnya telah menyiapkan sebuah akhir yang baik menurut  rancangan-Nya?

Eben teringat penulis Kitab Ibrani pernah berkata, “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat” (Ibrani 11:1). Iman tidak mencari kepastian dalam peristiwa-peristiwa yang terlihat.

Meski begitu, Eben sadar, kepastian akan akhir yang baik tidak berarti perjalanan hidup kita tidak dipenuhi ketegangan dan keraguan seperti sekarang ini. Bahkan perasaan jeri. Ketika kita masih berada di tengah-tengah cerita kehidupan, tidak ada seorang manusia pun yang tahu pasti bagaimana cara Allah akan melepaskan dirinya dari penderitaan dan kengerian. Ketika setiap upaya kita sepertinya tidak mengubah apa-apa, ketika semua yang kita lihat membuat bimbang dan takut, maka di sinilah iman bekerja, teguh berdasar pada keyakinan akan kemahakuasaan Allah. Imanlah yang akan memampukan kita merasai jawaban doa kita, meski itu belum terjadi saat ini juga.

Kiranya setiap kali kita gentar di tengah-tengah cerita kehidupan yang karut-marut ini, hanya Allah yang menjadi tempat perteduhan sejati, seperti yang telah diteladankan Yesus di kayu salib.

Kiranya setiap kali kita gentar di tengah-tengah cerita kehidupan yang karut-marut ini, hanya Allah yang menjadi tempat perteduhan sejati, seperti yang telah diteladankan Yesus di kayu salib.

Kita tahu, seperti kita, meski Yesus mengetahui kepastian akan akhir yang penuh kemenangan itu, di tengah-tengah cerita, yaitu di atas kayu salib, dalam penderitaan-Nya yang melampaui penderitaan siapa pun juga, dalam natur-Nya sebagai manusia, Dia berseru pilu, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”

Namun, tidak seperti kita dan para murid, Yesus tidak melupakan akhir dari setiap kisah dalam Alkitab. Dia mengenal Bapa-Nya, dan memilih tetap setia. Dia mengarahkan hati-Nya hanya kepada Allah dan bukan kepada yang terlihat.

“Lalu Yesus berseru dengan suara nyaring: “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku” (Lukas 23:46).

Eben menghela napas dalam-dalam, lalu berulang kali menggumamkan ucapan pemungkas Yesus itu. Perlahan, hatinya mulai damai. Ia mungkin tidak tahu besok akan seperti apa, tetapi ia tahu hari ini ia telah melakukan bagiannya dengan mengerjakan kasih. Ia juga tidak tahu berapa lama badai pandemi ini akan terus berlangsung, tetapi ia tahu imannya tidak tergantung pada apa yang dapat dilihatnya, karena di penghujung seluruh kisah kehidupan ini, Allah yang Mahasetia itu akan memegang semua janji-Nya.


BELI: Menyelami Hati Kristus

12 kisah dalam buku ini akan mengantar Anda berjumpa dengan Tuhan kita yang penuh belas kasihan. Teladan belas kasihan-Nya yang sempurna tersebut akan menguatkan Anda sehingga Anda pun sanggup menguatkan sesama.

  


Baca Juga:

Hikmat Alkitab untuk Menghadapi Corona

Baca dan dengarkan renungan khusus dari Santapan Rohani, dan teruskan kepada kerabat/sahabat Anda yang terdampak oleh pandemi.


Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.