Penulis

Lihat Semua

Artikel oleh Alyson Kieda

Perjumpaan Kembali

Dengan penuh semangat, anak kecil itu membuka kertas yang membungkus kado besar hadiah dari ayahnya, seorang tentara yang diyakininya tidak akan pulang ke rumah untuk merayakan ulang tahunnya. Dalam kotak tersebut ia menemukan sebuah kotak lain yang juga terbungkus kertas kado, dan di dalam kotak yang kedua itu, ada lagi kotak lain yang hanya berisi secarik kertas bertuliskan, “Kejutan!” Kebingungan, anak itu mendongak—tepat pada saat ayahnya memasuki ruangan. Anak itu langsung melompat dan berlari ke pelukan ayahnya, sambil berseru, “Ayah, aku kangen!” dan “Aku sayang Ayah!”

Setiap Orang Butuh Belas Kasihan

Ketika Jeff baru lulus kuliah, ia sempat bekerja di sebuah perusahaan minyak ternama. Saat itu ia juga baru mengenal Kristus sebagai Juruselamatnya. Sebagai tenaga pemasaran, ia sering bepergian, dan dalam perjalanannya ia banyak mendengar kisah orang-orang yang sangat memilukan. Ia pun menyadari bahwa yang paling dibutuhkan oleh para pelanggannya bukanlah minyak, melainkan belas kasihan. Mereka membutuhkan Tuhan. Jeff terdorong untuk menempuh sekolah teologi agar bisa lebih memahami hati Allah dan kemudian ia pun terpanggil menjadi pendeta.

Air Pembawa Harapan

Tom dan Mark telah membawa kesegaran dalam hidup anak-anak yang mereka layani. Itu tampak jelas dalam video yang menampilkan sekelompok anak berpakaian lengkap yang menari-nari kegirangan di bawah pancuran air. Mereka mandi di pancuran untuk pertama kalinya dalam hidup mereka. Tom dan Mark bekerja sama dengan gereja-gereja di Haiti untuk memasang penyaring air pada sumur-sumur, supaya warga lebih mudah menikmati air bersih yang tidak lagi tercemar oleh bibit penyakit. Akses kepada air bersih telah memberikan harapan baru bagi warga setempat.

Sahabat Sejati

Saat duduk di bangku SMA, saya punya seorang teman yang “kadang-kadang berteman.” Kami “berteman baik” di gereja dan beberapa kali menikmati waktu bersama di luar sekolah. Namun, di sekolah, lain lagi ceritanya. Kalau kebetulan bertemu saya saat ia sedang sendirian, ia akan menyapa; tetapi hanya ketika tidak ada orang lain di sekitarnya. Menyadari hal itu, saya jarang berusaha menarik perhatiannya saat berada di lingkungan sekolah. Saya mengerti batas pertemanan kami.

Jauhi Saja!

Ali adalah remaja yang cantik, pintar, dan berbakat. Ia juga memiliki orangtua yang sangat sayang kepadanya. Namun selepas SMA, entah mengapa ia tergoda menggunakan heroin. Orangtuanya menyadari perubahan diri Ali dan mengirimnya ke pusat rehabilitasi setelah akhirnya Ali mengakui dampak heroin itu pada dirinya. Setelah menjalani perawatan, Ali ditanya orangtuanya tentang apa yang akan ia sampaikan kepada teman-temannya soal mencoba narkoba. Nasihat Ali: “Jangan coba-coba dan jauhi saja.” Ia menegaskan bahwa “mengatakan ‘tidak’ saja” belumlah cukup.

Warisan Iman

Jauh sebelum Billy Graham memutuskan untuk beriman kepada Kristus di usia enam belas tahun, kedua orangtuanya sudah setia mengikut Tuhan Yesus. Masing-masing dari mereka beriman saat bertumbuh dalam keluarga yang sudah percaya kepada Yesus. Setelah menikah, orangtua Billy meneruskan warisan iman itu dengan terus membimbing anak-anak mereka di dalam Tuhan, dengan bersama berdoa, membaca Alkitab, dan setia beribadah di gereja. Teguhnya dasar yang diletakkan oleh orangtua Graham dalam hidup Billy menjadi bagian dari cara Allah membawanya beriman dan kemudian menerima panggilan sebagai penginjil.

Sia-Sia Belaka

Kematian Bobby yang mendadak menyadarkan saya tentang kerasnya realitas kematian dan betapa singkatnya hidup ini. Teman masa kecil saya itu baru berumur dua puluh empat tahun ketika ia menjadi korban kecelakaan tragis di jalan yang licin berlapis es. Sebagai seseorang yang besar dalam keluarga yang kurang harmonis, saat itu Bobby sedang dalam proses menemukan kembali jati dirinya. Ia baru saja mengenal Tuhan Yesus, oleh karena itu sayang sekali hidupnya berakhir begitu cepat.

Kata-kata Yang Melukai

“Tulang belulang,” ejek seorang anak. “Kerempeng,” yang lain menimpali. Saya bisa saja membalas mereka dengan mengatakan bahwa kata-kata tidak akan bisa menyakiti saya. Namun, walaupun waktu itu saya masih kecil, saya tahu itu tidak benar. Kata-kata kasar yang dilontarkan dengan seenaknya memang menyakitkan—bahkan meninggalkan luka yang lebih dalam dan membekas lebih lama daripada rasa pedih akibat kekerasan fisik.

Melempari Batu

Dulu Lisa paling sulit bersimpati dengan orang yang berselingkuh . . . sampai suatu saat ia merasa sangat tidak puas dengan pernikahannya dan berjuang menolak godaan berbahaya yang memikatnya. Pengalaman yang menyakitkan itu menolongnya untuk bisa merasakan apa yang orang lain rasakan dan memperoleh pengertian yang lebih mendalam tentang perkataan Kristus: “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu” (Yoh. 8:7).