Category  |  Santapan Rohani

Bersandar pada Allah

Ketika saya dan beberapa teman pergi ke taman air, kami mencoba melewati serangkaian rintangan terapung yang terbuat dari karet yang berisi udara. Benda-benda yang membal dan licin itu membuat kami hampir tidak mungkin berjalan di atasnya. Sambil terhuyung-huyung melintasi sejumlah tanjakan, tebing, dan jembatan, kami sempat terpeleset dan jatuh tanpa daya ke dalam air sambil berteriak-teriak. Setelah menyelesaikan serangkaian rintangan, teman saya yang kelelahan mencoba bersandar pada salah satu “menara” untuk mengatur napasnya. Akan tetapi, menara karet itu tiba-tiba tertekuk dan teman saya pun kembali tercebur ke air.

Allah Lebih dari Cukup

Keuangan Ellen sangat pas-pasan, jadi ia senang sekali ketika mendapat bonus Natal. Sebenarnya itu cukup baginya, tetapi sewaktu hendak menyetorkan uang bonus itu ke bank, ia menerima kejutan lain. Petugas bank memberi tahu Ellen bahwa sebagai hadiah Natal, bank telah membayari cicilannya untuk KPR bulan Januari mendatang. Sekarang Ellen dan suaminya, Trey, dapat melunasi tagihan-tagihan lain, bahkan memberkati seseorang dengan menghadiahkannya bingkisan Natal sebagai kejutan!

Allah Takkan Melupakan Anda

Sewaktu kecil, saya senang mengoleksi prangko. Ketika Angkong (“kakek” dalam dialek Fukien) mengetahui hobi saya itu, beliau mulai mengumpulkan prangko dari surat-surat yang diterima kantornya setiap hari. Setiap kali saya mengunjungi kakek dan nenek saya, Angkong akan memberi saya selembar amplop penuh dengan prangko-prangko yang indah dan berwarna-warni. Beliau pernah berkata, “Meski selalu sibuk, Angkong tidak akan melupakanmu.”

Menjadi Gereja

Selama pandemi Covid-19 berlangsung, Dave dan Carla menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mencari gereja tetap. Mereka rindu bersekutu dengan jemaat Tuhan lainnya, tetapi protokol kesehatan yang membatasi pertemuan tatap muka semakin menyulitkan mereka. Dalam surelnya Carla menulis, “Itu benar-benar waktu yang sulit untuk menemukan gereja.” Dalam diri saya timbul kesadaran bahwa saya juga rindu untuk kembali dipersatukan dengan keluarga rohani saya di gereja. Saya menanggapi dengan berkata, “Ini waktu yang sulit untuk menjadi gereja.” Pada masa yang penuh perubahan itu, gereja kami menyikapinya dengan membagi-bagikan makanan kepada lingkungan sekitar, melakukan ibadah daring, dan menelepon setiap anggota jemaat untuk memberikan dukungan dan doa. Meski saya dan suami ikut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan tersebut, kami tetap bertanya-tanya apa lagi yang dapat kami lakukan untuk “menjadi gereja” di tengah dunia yang berubah ini.

Prasangka dan Kasih Allah

“Ternyata kau tidak seperti yang kukira. Kupikir tadinya aku akan membencimu, tapi ternyata tidak.” Perkataan pemuda itu terdengar kasar, tetapi sebenarnya ia justru berusaha bersikap ramah. Saat itu saya sedang menuntut ilmu di negaranya, yang puluhan tahun sebelumnya berperang dengan negara saya. Kami terlibat dalam sebuah grup diskusi di kelas, dan saya menyadari kalau ia agak menjaga jarak. Ketika saya bertanya apakah saya pernah menyinggung perasaannya, ia menjawab, “Tidak sama sekali . . . tetapi itulah masalahnya. Kakekku tewas dalam peperangan itu, karena itu aku benci sekali kepada rakyat dan negaramu. Namun, sekarang aku melihat kalau kita punya banyak kesamaan, dan itu membuatku kaget. Aku merasa kita bisa jadi teman sekarang.”

Memberi seperti Kristus

Ketika O. Henry, penulis asal Amerika Serikat, menulis cerita Natal terkenalnya yang berjudul “The Gift of the Magi” pada tahun 1905, ia sendiri sedang berjuang untuk bangkit dari pergumulan pribadi. Meski demikian, ia berhasil menulis suatu kisah inspiratif yang menekankan karakter serupa Kristus yang sangat indah, yakni pengorbanan. Dalam cerita tersebut, seorang istri yang miskin menjual rambut panjangnya yang indah pada malam Natal demi membeli seutas rantai emas untuk jam saku suaminya. Akan tetapi, belakangan sang istri baru tahu bahwa sang suami sudah menjual jam sakunya agar dapat membelikan seperangkat sirkam untuk rambut indahnya.

Teladan Santo Nikolaus

Tokoh yang kita kenal sebagai Santo Nikolaus (atau Nikolas) lahir sekitar tahun 270 m di sebuah keluarga Yunani yang kaya. Orangtuanya meninggal dunia ketika ia masih kecil, lalu ia tinggal dengan paman yang mengasihinya dan mengajarinya untuk percaya kepada Allah. Ketika masih muda, menurut legenda, Nikolaus mendengar tentang tiga perempuan bersaudara yang tidak mempunyai mahar untuk menikah dan nyaris melarat. Didorong keinginan untuk mengikuti ajaran Tuhan Yesus tentang memberi kepada mereka yang membutuhkan, ia pun memberikan sekantong keping emas dari warisannya kepada masing-masing perempuan itu. Di sepanjang sisa hidupnya, Nikolaus mendonasikan seluruh uangnya untuk memberi makan orang miskin dan merawat sesama. Di kemudian hari, Nikolaus dikenang karena kemurahan hatinya, bahkan mengilhami tokoh yang sekarang kita kenal sebagai Sinterklas.

Komitmen Allah yang Menghibur

Bertahun-tahun lalu, keluarga kami mengunjungi tempat bernama Four Corners (Empat Sudut), satu-satunya wilayah di Amerika Serikat tempat empat negara bagian bertemu di satu lokasi. Suami saya berdiri di bagian bertanda Arizona. Putra sulung kami, A.J., melompat ke bagian Utah. Putra bungsu kami, Xavier, memegang tangan saya ketika kami bersama-sama menginjak wilayah Colorado. Ketika saya bergeser ke bagian New Mexico, Xavier bercanda dengan berkata, “Ya ampun, Mama meninggalkanku di Colorado!” Kami tertawa saat menyadari bahwa kami sebenarnya berada bersama sekaligus terpisah di empat negara bagian. Sekarang, setelah kedua putra kami beranjak dewasa dan tidak lagi tinggal bersama kami, saya semakin menghargai janji Allah untuk berada dekat dengan seluruh umat-Nya, ke mana pun mereka melangkah.

Kekelaman dan Cahaya Allah

Ketika Elaine didiagnosis menderita kanker stadium lanjut, ia dan Chuck, suaminya, menyadari bahwa tidak lama lagi dirinya akan berpulang ke rumah Bapa. Namun, keduanya memegang erat janji dalam Mazmur 23, yang menyatakan bahwa Allah akan selalu menyertai mereka di tengah lembah terdalam dan tersulit yang mereka jalani dalam lima puluh empat tahun kebersamaan mereka. Mereka menaruh harapan pada kenyataan bahwa Elaine sudah siap bertemu dengan Tuhan Yesus, karena ia sudah beriman di dalam Dia selama berpuluh-puluh tahun.