Month: Juli 2017

Hati yang Penuh Sukacita

Cucu saya, Moriah, sangat menyukai salah satu lagu mars karya John Philip Sousa. Sousa, yang dijuluki sebagai “Raja Mars”, adalah komposer asal Amerika Serikat yang hidup pada akhir abad ke-19. Moriah yang berusia 20 bulan sangat menyukai iramanya dan bisa menyenandungkan beberapa nada dari lagu itu. Ia mengaitkan lagu itu dengan saat-saat yang gembira. Ketika keluarga kami berkumpul, kami sering menyenandungkan lagu itu sembari bertepuk tangan dan membuat suara-suara lainnya. Lalu cucu-cucu kami menari dan berbaris melingkar mengikuti irama. Mereka melakukannya sampai kepala mereka terasa pusing karena berputar-putar dan tidak bisa berhenti tertawa.

Hari untuk Beristirahat

Pada suatu hari Minggu, saya berdiri di tepi aliran sungai yang bergemericik dan mengalir berkelok melintasi wilayah kami di London bagian utara. Saya menikmati keindahan sungai itu di tengah wilayah yang penuh dengan bangunan ini. Saya merasa begitu santai saat mendengar deru aliran air dan kicauan burung-burung. Saya pun terdiam sejenak untuk bersyukur kepada Tuhan karena Dia telah menolong kita mengalami keteduhan bagi jiwa kita.

Kebaikan Sejati

Karena saya bertumbuh besar di Jamaika, orangtua membesarkan saya dan saudara perempuan saya untuk menjadi “orang baik”. Di rumah kami, baik itu berarti menaati orangtua, bicara jujur, berhasil di sekolah dan pekerjaan, dan pergi ke gereja . . . setidaknya saat Paskah dan Natal. Saya pikir definisi tentang orang baik seperti itu dimiliki oleh banyak orang, apa pun budayanya. Bahkan di Filipi 3, Rasul Paulus memakai definisi “baik” dalam budayanya untuk menyampaikan pesan yang lebih dalam.

Melakukan Lebih Dahulu

Kami dengan sabar menolong anak kami untuk segera pulih dan menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya bersama keluarga kami. Trauma dari pengalaman awalnya di panti asuhan telah memicu sejumlah perilaku negatif. Meskipun saya mencoba semampu saya untuk memahami segala kesulitan yang pernah ia alami, saya merasa mulai menarik diri secara emosional darinya karena perilakunya itu. Dengan malu, saya menceritakan pergumulan saya kepada terapisnya. Jawaban sang terapis menyentak saya dengan lembut: “Ia menunggu Anda untuk melakukannya lebih dahulu . . . untuk menunjukkan kepadanya bahwa ia layak menerima kasih Anda, sebelum ia bisa mengasihi Anda.”