Hidup dalam Terang
Saya dan seorang rekan pernah ditugaskan untuk melakukan perjalanan dinas ke suatu tempat sejauh 400 km. Malam telah larut ketika kami mulai berjalan pulang. Tubuh dan mata saya yang renta membuat saya kesulitan mengemudi di malam hari. Meski demikian, saya memilih giliran pertama untuk menyetir. Dengan tangan mencengkeram kemudi, mata saya pun memelototi jalan yang temaram. Saya bisa melihat jalanan dengan lebih jelas ketika mobil-mobil di belakang kami menyalakan lampu sorotnya. Betapa leganya saya ketika akhirnya tiba giliran teman saya untuk mengemudi. Saat itulah ia mendapati bahwa sejak tadi saya menyetir dengan lampu kabut, bukan lampu utama!
Menemukan Jati Diri
Siapa aku? Itulah yang ditanyakan oleh sebuah boneka binatang lusuh pada dirinya sendiri dalam buku cerita anak berjudul Nothing karya Mick Inkpen. Terlupakan di sudut loteng yang berdebu, boneka itu mendengar tukang pengangkut barang menyebutnya “Nothing” (bukan siapa-siapa) sehingga ia mengira namanya adalah Nothing.
Kasih dan Damai
Saya selalu takjub menyaksikan bagaimana damai—damai yang berkuasa dan melampai segala akal (Flp. 4:7)—dapat menguasai hati kita bahkan di tengah kedukaan yang mendalam. Baru-baru ini, saya mengalaminya dalam kebaktian penghiburan ayah saya. Ketika deretan kerabat mengungkapkan rasa dukacita mereka, saya merasa lega melihat seorang sahabat di SMA. Tanpa sepatah kata pun, ia memeluk saya dengan erat beberapa waktu lamanya. Bentuk perhatiannya yang tenang itu mengalirkan damai yang baru saya rasakan di tengah duka pada hari yang berat itu. Saya disadarkan bahwa saya tidak benar-benar sendirian.
Pekerjaan Baik Telah Dipersiapkan
Seorang pria asing bertubuh kekar menghampiri saya dan istri saat kami berjalan kaki di luar negeri. Kami pun langsung ketakutan, mengingat dalam liburan itu kami sudah beberapa kali mengalami perlakuan tidak menyenangkan: dibentak, ditipu, dan diperas orang. Akankah kami mengalami peristiwa buruk lagi? Kami terkejut ketika ternyata orang itu hanya ingin memberi tahu tempat terindah di kotanya. Ia bahkan memberi kami sebatang cokelat, tersenyum, lalu pergi. Tindakan sederhana itu membuat hati kami ceria dan sisa liburan kami terasa menyenangkan. Kami pun berterima kasih—kepada orang tersebut sekaligus Allah yang telah menghibur kami.