Kenangan yang Terus Hidup
Saya besar di gereja yang sarat tradisi. Salah satu tradisi itu diterapkan ketika ada anggota keluarga atau sahabat terkasih yang meninggal dunia. Sering kali, tidak lama sesudahnya, muncul lempengan tembaga yang disematkan pada bangku gereja atau lukisan yang terpajang di lorong dengan tulisan: “Untuk mengenang . . .” Nama orang yang sudah meninggal itu terukir pada lempeng tersebut sebagai kenangan atas kehidupan yang sudah berlalu. Saya menghargai kenangan semacam itu. Sampai sekarang pun masih. Namun, di saat yang sama, saya sering merenung karena benda-benda itu mati dan statis, dalam arti benar-benar “tidak hidup.” Adakah cara untuk menambahkan suatu elemen “kehidupan” pada benda kenangan tersebut?
Panggilan untuk Berani
Di antara patung-patung tokoh pria (Nelson Mandela, Winston Churchill, Mahatma Gandhi, dan lain-lain) yang dipajang di Alun-alun Gedung Parlemen London, terdapat satu-satunya patung tokoh perempuan. Perempuan tersebut adalah Milicent Fawcett, pejuang hak pilih kaum wanita. Ia diabadikan dalam rupa patung perunggu yang memegang spanduk bertuliskan kata-kata yang ia sampaikan sebagai penghargaan kepada sesama pejuang hak pilih: “Courage calls to courage everywhere” (Keberanian memanggil keberanian di mana pun). Menurut Fawcett, keberanian satu orang akan memberikan semangat bagi yang lain—memanggil jiwa-jiwa yang takut untuk segera bertindak.
Terbelenggu tetapi Tidak Diam
Pada musim panas tahun 1963, seorang aktivis hak asasi manusia, Fannie Lou Hamer, beserta enam orang kulit hitam lainnya berhenti untuk makan di sebuah kedai di Winona, Mississippi setelah semalaman menempuh perjalanan dengan bus. Setelah aparat penegak hukum mengusir mereka, mereka ditangkap dan dipenjarakan. Namun, penghinaan belum berakhir. Mereka semua dipukuli hingga babak belur, tetapi Fannie menderita yang terparah. Namun, setelah diserang secara brutal hingga hampir mati, ia justru menyanyi keras-keras, “Paulus dan Silas dalam penjara, biarkanlah umat-Ku pergi.” Ia tidak sendirian. Tahanan lain yang terbelenggu secara fisik tetapi yang bebas jiwanya pun ikut memuji bersamanya.
“Allah Menyelamatkan Hidup Saya”
Ketika Aaron (bukan nama sebenarnya) berumur 15 tahun, ia mulai berdoa kepada Iblis. Ia bahkan mengakui, “Saya merasa Iblis adalah rekan saya.” Aaron mulai berdusta, mencuri, dan memanipulasi keluarga dan teman-temannya. Ia juga mengalami mimpi buruk: “Saya terbangun suatu pagi dan melihat ada setan di ujung tempat tidur saya. Ia memberi tahu bahwa saya akan lulus ujian lalu meninggal.” Namun, setelah ujian selesai, ia masih hidup. Pikir Aaron, “Jelas sekali Iblis itu pembohong.”
Melempari Batu
Dulu Lisa paling sulit bersimpati dengan orang yang berselingkuh . . . sampai suatu saat ia merasa sangat tidak puas dengan pernikahannya dan berjuang menolak godaan berbahaya yang memikatnya. Pengalaman yang menyakitkan itu menolongnya untuk bisa merasakan apa yang orang lain rasakan dan memperoleh pengertian yang lebih mendalam tentang perkataan Kristus: “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu” (Yoh. 8:7).