Month: Juli 2019

Cara Pelatihan Allah

Seorang manajer perusahaan di Brazil meminta laporan tertulis dari para petugas kebersihan gedung tempatnya bekerja. Sang manajer ingin mengetahui setiap harinya siapa saja yang membersihkan setiap ruangan, ruangan mana saja yang tidak dibereskan, dan berapa lama para pegawai menggunakan setiap ruangan. Laporan “harian” tertulis yang pertama masuk seminggu kemudian, tetapi kurang lengkap.

Menjadi Utuh Kembali

Dalam film dokumenter Look & See: A Portrait of Wendell Berry, seorang penulis bernama Berry berbicara tentang perceraian sebagai gambaran keadaan dunia saat ini. Kita tercerai-berai dari sesama, terpisah dari sejarah, tercabut dari negeri kita. Hal-hal yang seharusnya utuh justru dicerai-beraikan. Ketika ditanya apa yang patut kita lakukan mengenai fakta menyedihkan itu, Berry berkata, “Kita tidak bisa menyatukan semuanya kembali. Namun, kita bisa mengambil dua bagian yang terpisah dan menyatukannya.” Kita mengambil dua hal yang terpisah dan menyatukannya lagi.

Sia-Sia Belaka

Kematian Bobby yang mendadak menyadarkan saya tentang kerasnya realitas kematian dan betapa singkatnya hidup ini. Teman masa kecil saya itu baru berumur dua puluh empat tahun ketika ia menjadi korban kecelakaan tragis di jalan yang licin berlapis es. Sebagai seseorang yang besar dalam keluarga yang kurang harmonis, saat itu Bobby sedang dalam proses menemukan kembali jati dirinya. Ia baru saja mengenal Tuhan Yesus, oleh karena itu sayang sekali hidupnya berakhir begitu cepat.

Alasan untuk Bermegah

Bagaimana rasanya menjadi sesuatu yang nyata? Pertanyaan menggelitik itu dijawab dalam buku cerita anak The Velveteen Rabbit (Si Kelinci Beludru). Buku itu bercerita tentang mainan-mainan di ruang bermain anak dan perjalanan si kelinci beludru untuk menjadi nyata dengan mengizinkan dirinya dikasihi oleh seorang anak kecil. Salah satu mainan lainnya adalah Si Kuda Tua yang bijaksana. Diceritakan bahwa ia “telah menyaksikan mainan demi mainan mekanik datang silih berganti, berlagak jagoan, tetapi kemudian pelan-pelan rusak . . . dan akhirnya mati.” Pada awalnya gaya dan suara mereka sangat mengagumkan, tetapi akhirnya kesombongan menjadikan mereka tidak bisa dikasihi.

Mata di Belakang Kepala

Semasa kecil, seperti lazimnya anak-anak lain yang seusia, saya sering nakal dan berusaha menyembunyikan kenakalan itu agar tidak dimarahi. Namun, ibu saya biasanya langsung tahu apa yang telah saya perbuat. Saya ingat betapa kagumnya saya kepadanya karena dengan cepat ia mengetahui ulah saya. Ketika saya heran dan bertanya bagaimana ia bisa tahu, ibu saya selalu menjawab, “Ibu punya mata di belakang kepala.” Tentu saja, jawaban itu membuat saya penasaran dan mengamati kepala ibu saya setiap kali ia berbalik membelakangi saya. Saya bertanya-tanya, apakah matanya tidak terlihat atau tertutup oleh rambut merahnya? Setelah besar, saya berhenti mencari bukti sepasang mata tambahan ibu saya sembari menyadari bahwa ternyata saya memang tidak selihai yang saya kira. Pengamatan ibu saya yang jeli menjadi bukti kasih dan perhatiannya kepada anak-anaknya.