Bangku Persahabatan
Di Zimbabwe, Afrika, trauma akibat perang dan tingginya angka pengangguran membuat banyak orang putus asa—sampai kemudian mereka menemukan pengharapan ketika duduk di sebuah “bangku persahabatan”. Mereka yang putus asa boleh duduk di bangku itu dan berbicara dengan para “nenek” yang sudah dilatih untuk mendengarkan orang-orang yang sedang bergumul dengan depresi, suatu kondisi yang dalam bahasa Shona—bahasa ibu bangsa itu—disebut sebagai kufungisisa, atau “berpikir terlalu jauh.”
Membawa Anak kepada Allah
Seorang tokoh ateis secara terus terang meyakini bahwa orangtua yang mengajarkan agama kepada anak-anaknya seolah-olah agama itu benar merupakan tindakan yang tak bermoral. Ia bahkan berpendapat bahwa orangtua seperti itu telah melanggar hak asasi sang anak. Meski pendapat tersebut terdengar ekstrem, saya pernah mendengar sendiri bagaimana sejumlah orangtua ragu untuk terang-terangan mendorong anak-anak mereka mempercayai iman Kristen. Meski sebagian besar dari kita tidak ragu-ragu mempengaruhi anak-anak kita dengan pandangan kita soal politik, gizi, atau olahraga, tetapi entah mengapa sebagian dari kita tidak yakin soal meneruskan keyakinan iman kepada anak-anak.
Misteri Terbesar
Sebelum saya percaya kepada Tuhan Yesus, saya sudah pernah mendengar Injil diberitakan. Namun, saya merasa sulit memahami identitas-Nya. Bagaimana mungkin Yesus dapat mengampuni dosa-dosa saya sementara Alkitab mengatakan hanya Allah yang dapat mengampuni dosa? Ternyata saya tidak sendirian dalam pergumulan tersebut. Setelah membaca Knowing God, penulisnya J. I. Packer menyatakan bahwa bagi banyak orang yang belum percaya, “klaim iman Kristen yang paling mengguncangkan adalah bahwa Yesus orang Nazaret itu Allah yang menjadi manusia . . . Dia sungguh-sungguh dan sepenuhnya Allah, sekaligus sungguh-sungguh dan sepenuhnya manusia.” Namun, kebenaran itulah yang memungkinkan tercapainya karya keselamatan.
Tidak Perlu Antre
Terkadang saat anjing Labrador retriever saya butuh perhatian, ia mengambil barang milik saya dan berjalan mondar-mandir memamerkannya di depan saya. Suatu pagi ketika saya sedang menulis di meja kerja sambil membelakanginya, Max mengambil dompet saya dan kabur. Ketika ia sadar kalau saya tidak memperhatikan kelakuannya, ia kembali dan menyundul-nyundulkan moncongnya ke badan saya, sambil menggigit dompet dengan mata berbinar-binar, ekor dikibas-kibaskan, supaya saya ikut bermain dengannya.