Tidak Pernah Sendirian
“Derita ini bisa terasa lebih menyiksa daripada tidak memiliki tempat tinggal, mengalami kelaparan, atau menderita penyakit,” tulis Maggie Fergusson dalam majalah The Economist’s 1843. Apa topiknya? Kesepian. Fergusson menceritakan adanya kenaikan jumlah orang yang merasa kesepian, terlepas dari status ekonomi atau sosial mereka, dengan memakai contoh-contoh memilukan tentang apa rasanya kesepian.
Nyalakan Lampunya
Ketika saya dan suami bersiap-siap untuk pindah ke kota lain, saya ingin memastikan bahwa kami tetap bisa berhubungan dengan anak-anak lelaki kami yang sudah dewasa. Saya menemukan sebuah hadiah yang unik: lampu persahabatan yang terhubung secara nirkabel dengan Internet dan dapat dinyalakan dari jauh. Sewaktu memberikan hadiah itu kepada anak-anak, saya menjelaskan bahwa lampu mereka akan menyala saat saya menyentuh lampu saya di tempat kami. Lampu yang menyala akan mengingatkan mereka pada kasih sayang dan doa saya untuk mereka. Sejauh apa pun jarak memisahkan kami, satu sentuhan pada lampu mereka akan menyalakan juga lampu di rumah kami. Meski kami tahu tidak ada yang dapat menggantikan kontak fisik dan tatap muka, kami dapat berbesar hati dengan mengetahui bahwa kami dicintai dan didoakan setiap kali lampu-lampu tersebut menyala.
Seperti Yesus
Sewaktu kecil, teolog Bruce Ware pernah merasa frustrasi dengan bagian Alkitab dalam 1 Petrus 2:21-23 yang memanggil kita untuk menjadi seperti Yesus. Ware menulis tentang kejengkelan masa mudanya itu dalam buku berjudul The Man Christ Jesus (Manusia Kristus Yesus). “Menurut saya itu tidak adil. Khususnya ketika ayat tersebut meminta kita mengikuti jejak satu Pribadi yang ‘tidak berbuat dosa.’ Sungguh keterlaluan . . . Saya pikir tidak mungkin Allah serius meminta kita melakukannya.”
Janji yang Berharga dan Sangat Besar
Saat mengalami kegagalan yang besar, amat mudah bagi kita untuk meyakini bahwa segalanya sudah terlambat dan kita sudah kehilangan kesempatan untuk menjalani hidup yang bernilai dan bermakna. Begitulah perasaan Elias, seorang mantan narapidana yang mendiami penjara berpengamanan maksimum di New York, ketika masih dipenjara. “Aku telah mengandaskan . . . janji-janji, janji tentang masa depanku sendiri, janji tentang kesempatan yang seharusnya bisa aku ambil.”
Dikuatkan oleh Kasih Karunia
Pada masa Perang Saudara di Amerika Serikat, ganjaran bagi tentara yang desersi adalah hukuman mati. Namun, pihak tentara Serikat jarang menghukum mati para desertir karena panglima tertinggi mereka, Presiden Abraham Lincoln, mengampuni hampir seluruh tentara itu. Sikap itu membuat marah Edwin Stanton, yang menjabat sebagai Menteri Perang, karena ia yakin bahwa kemurahan hati Lincoln justru akan membuat para tentara tergoda untuk desersi. Akan tetapi, Lincoln turut merasakan apa yang dialami para tentara yang kehilangan keberanian dan takluk kepada ketakutan mereka di tengah sengitnya medan pertempuran. Rasa empati itulah yang membuat dirinya disayang oleh para tentara. Mereka mengasihi “Bapak Abraham” dan kasih itu membuat mereka semakin bersemangat melayani Lincoln.