Dari Kebencian Menuju Kasih
Jabat tangan itu mengandung sejuta makna. Pada suatu malam di bulan Maret 1963, dua pemain basket tingkat perguruan tinggi—yang seorang berkulit hitam sementara yang lain berkulit putih—mendobrak sekat rasialisme dengan saling berjabat tangan sebelum bertanding. Untuk pertama kalinya dalam sejarah kampus Mississippi State, tim mereka yang seluruhnya beranggotakan pemain kulit putih berhadapan dengan tim lawan yang beranggotakan sejumlah pemain kulit hitam—dalam hal ini tim Loyola dari Universitas Chicago. Untuk dapat tampil dalam ajang yang dijuluki sebagai “pertandingan yang mengubah segalanya” itu, tim Mississippi State perlu menyiasati perintah yang melarang mereka keluar dari negara bagian mereka. Sementara itu, para pemain tim Loyola yang berkulit hitam kerap menghadapi cercaan rasis sepanjang musim, dilempari popcorn dan es batu, serta mengalami penolakan selama bepergian.
Berlari demi Sesuatu yang Berarti
Rasanya tidak mungkin untuk tidak menangis saat membaca status teman saya, Ira. Status itu dibagikannya pada tahun 2022, hanya beberapa hari setelah ia terpaksa meninggalkan rumahnya di Kyiv, ibu kota Ukraina yang sedang terkepung. Dalam postingan itu, ia menampilkan foto lama dirinya mengangkat bendera Ukraina, setelah berhasil menyelesaikan perlombaan lari. Ira menulis, “Kita semua berlari dengan sebaik-baiknya dalam suatu maraton yang disebut kehidupan. Dalam saat-saat seperti ini, marilah kita melakukannya dengan lebih baik lagi. Melakukannya dengan sesuatu yang takkan pernah padam dalam hati kita.” Pada hari-hari berikutnya, saya menyaksikan Ira melanjutkan perlombaan hidupnya dengan berbagai cara, sembari terus membagikan kabar dan pokok doa tentang orang-orang sebangsanya yang masih menderita.
Kawan dan Lawan
Cendekiawan Kenneth E. Bailey bercerita tentang pemimpin sebuah negara Afrika yang berhasil mempertahankan suatu pendirian yang tidak lazim dimiliki suatu negara dalam komunitas internasional, yakni menjalin hubungan baik dengan Israel dan juga dengan negara-negara di sekitarnya. Saat orang bertanya bagaimana negaranya mempertahankan keseimbangan yang mudah retak tersebut, sang pemimpin menjawab, “Kami menentukan siapa kawan-kawan kami. Kami tidak membiarkan kawan-kawan kami menentukan siapa lawan kami.”
Terapi Musik
Ketika Bella yang berusia lima tahun dirawat karena kanker di rumah sakit di North Dakota, terapi musik menjadi bagian dari perawatannya. Banyak orang sudah merasakan bagaimana musik dapat mempengaruhi suasana hati tanpa memahami persis alasannya. Namun, para peneliti baru-baru ini membuktikan manfaat klinis dari musik. Sekarang dokter menyarankan terapi musik untuk para pasien kanker seperti Bella, dan juga untuk mereka yang mengidap penyakit Parkinson, demensia, dan trauma.