Kota yang Benar
Pada malam Tahun Baru tahun 2000, para pejabat kota Detroit dengan hati-hati membuka sebuah kapsul waktu yang sudah berumur seratus tahun. Di dalam kotak tembaga itu terdapat prediksi penuh harap dari sejumlah pemimpin kota yang mengungkapkan bayangan akan tercapainya kemakmuran. Namun, sang wali kota justru menawarkan pandangan berbeda. Dalam pesannya, ia menulis, “Izinkan kami mengungkapkan satu harapan yang lebih unggul daripada segala impian . . . supaya kita menyadari bahwa sebagai suatu negara, bangsa, dan kota, kita telah bertumbuh dalam kebenaran, karena itulah yang meninggikan derajat bangsa.”
Kegelisahan Jiwa dan Doa yang Jujur
Tiga hari sebelum ledakan bom mengguncang rumahnya pada bulan Januari 1957, Dr. Martin Luther King Jr. mengalami peristiwa yang terus membekas selama sisa hidupnya. Setelah menerima ancaman melalui telepon, King sempat memikirkan strategi untuk keluar dari perjuangan kesetaraan hak-hak sipil yang selama ini dipimpinnya. Namun, jiwanya mulai tergerak untuk berdoa. “Aku sedang memperjuangkan sesuatu yang kuyakini benar. Namun, sekarang aku takut. Aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Di titik ini aku tidak mampu lagi menghadapinya seorang diri.” Setelah berdoa demikian, King merasakan kepastian yang menenangkan. Ia berkata, “Nyaris saat itu juga ketakutan saya mulai mereda. Keraguan saya sirna. Saya merasa siap menghadapi apa pun.”
Mahkota Kehidupan
LeeAdianez Rodriguez-Espada yang berusia dua belas tahun khawatir ia akan terlambat untuk lomba lari 5K yang diikutinya. Saking cemasnya, ia malah ikut berlomba bersama rombongan pelari setengah maraton (yang berjarak tempuh lebih dari 21 km!) yang berangkat lima belas menit lebih awal daripada jadwal lomba yang seharusnya ia ikuti. LeeAdianez mengikuti laju para pelari lain dan mengayunkan langkahnya, satu demi satu. Setelah menempuh 6,5 km dan tidak kunjung melihat garis finis, LeeAdianez pun tersadar bahwa ia berada dalam lomba lari yang lebih panjang dan sulit. Namun, alih-alih berhenti, ia terus berlari. Pelari setengah maraton yang tidak disengaja ini berhasil menempuh jarak 21 km dengan menempati posisi 1.885 dari 2.111 orang yang mencapai garis finis. Itu baru namanya ketahanan!
Kubangan Bernama Cinta
Ketika Natal adalah tentang nyala lilin yang mati dalam kubangannya sendiri.
Memenuhi Kebutuhan Orang Lain
Ayah Phillip menderita gangguan mental yang berat. Ia sempat meninggalkan rumah dan hidup di jalanan. Phillip yang masih muda dan ibunya, Cyndi, benar-benar mengkhawatirkan sang ayah dan menghabiskan waktu seharian mencari beliau. Ia bertanya kepada sang ibu bagaimana ayahnya dan orang lain yang tidak mempunyai rumah dapat bertahan melawan cuaca dingin. Pertanyaan tersebut mendorong mereka mengerahkan upaya untuk mengumpulkan dan membagi-bagikan selimut serta pakaian tahan dingin kepada para tunawisma di daerah mereka. Selama lebih dari satu dekade, Cyndi memandang kegiatan itu sebagai pekerjaan terpenting dalam hidupnya. Berkat sang putra dan imannya sendiri yang mendalam kepada Allah, Cyndi menyadari sulitnya hidup tanpa memiliki tempat yang hangat untuk tidur.