Aku Mau Percaya, tetapi . . . (Tradisi, Budaya Keluarga, Perilaku Orang Kristen)
Menjadi seorang Kristen berarti meninggalkan hidup “lama” yang menolak taat kepada Allah. Namun apakah ini juga berarti meninggalkan kebudayaan dan tradisi?
Terbelenggu tetapi Tidak Diam
Pada musim panas tahun 1963, seorang aktivis hak asasi manusia, Fannie Lou Hamer, beserta enam orang kulit hitam lainnya berhenti untuk makan di sebuah kedai di Winona, Mississippi setelah semalaman menempuh perjalanan dengan bus. Setelah aparat penegak hukum mengusir mereka, mereka ditangkap dan dipenjarakan. Namun, penghinaan belum berakhir. Mereka semua dipukuli hingga babak belur, tetapi Fannie menderita yang terparah. Namun, setelah diserang secara brutal hingga hampir mati, ia justru menyanyi keras-keras, “Paulus dan Silas dalam penjara, biarkanlah umat-Ku pergi.” Ia tidak sendirian. Tahanan lain yang terbelenggu secara fisik tetapi yang bebas jiwanya pun ikut memuji bersamanya.
Kecil tetapi Penting
Hari itu dimulai seperti hari-hari biasa, tetapi berakhir seperti mimpi buruk. Esther (bukan nama sebenarnya) dan beberapa ratus wanita lain diculik dari asrama sekolah mereka oleh sebuah kelompok relijius yang militan. Sebulan kemudian, semua tawanan wanita itu dibebaskan—kecuali Esther, karena ia menolak menyangkal Kristus. Ketika saya dan seorang teman membaca tentang pengalaman Esther dan orang-orang lain yang dianiaya karena iman mereka, hati kami tergerak. Kami ingin melakukan sesuatu. Namun, apa?
Melalui Lembah Kekelaman
Hae Woo (bukan nama asli) pernah dipenjara dalam sebuah kamp kerja paksa di Korea Utara karena berupaya menyeberangi perbatasan ke Tiongkok. Siang-malam ia tersiksa, baik secara fisik oleh para penjaga yang kejam maupun oleh kerja paksa yang berat. Ia pun hanya boleh tidur sebentar di atas lantai yang sedingin es bersama tikus dan kutu. Namun, setiap hari Allah menolongnya, termasuk menunjukkan kepadanya tahanan mana yang perlu ia dekati agar ia dapat menceritakan tentang imannya.
Menanggung Beban Kesalahan
Tanggal 30 Januari 2018, setelah hampir tiga puluh delapan tahun dijebloskan ke penjara, Malcolm Alexander dibebaskan. Bukti DNA telah membebaskan Alexander, yang selama proses pengadilan tetap gigih menyatakan bahwa dirinya tidak bersalah. Pengacara yang tidak kompeten (belakangan izin praktiknya dicabut), bukti yang tidak kuat, dan taktik penyelidikan yang meragukan telah membuat seseorang yang tidak bersalah harus mendekam dalam penjara selama hampir empat dekade. Namun, ketika dibebaskan, Alexander masih menunjukkan rasa syukur atas anugerah besar yang diterimanya. “Tidak perlu marah,” katanya. ”Saya tidak punya waktu untuk marah.”