Benarkah Aku Orang Kristen?
Pernahkah Anda bertanya-tanya, “Benarkah aku orang Kristen? Tidak cukupkah jika aku rajin ke gereja saja? Bagaimana menjadi pengikut Kristus yang sesungguhnya?”
Menemukan Kedamaian Tuhan di Tengah Kesusahan
Kita tidak menampik, hari-hari ini kita jalani dengan sulit. Pandemi mengubah banyak hal dalam kehidupan kita. Mungkin dalam hati kita…
Banjir Jakarta: Kisahku di Bawah Hujan
Mendung gelap menyelimuti Jakarta. Aku bergegas memacu motorku ke arah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Rekan kantorku, sempat mengingatkan, "Cepetan pulang, mau ujan gede lho. Tuh langit mendung gitu."
Kasih Tanpa Rasa Takut
Selama bertahun-tahun, saya membentengi hati saya dengan ketakutan. Benteng itu menjadi alasan untuk tidak mencoba hal-hal baru, mengejar impian saya, dan menaati perintah Allah. Namun, rasa takut akan mengalami kehilangan, sakit hati, dan ditolak membuat saya tidak bisa membangun hubungan yang tulus dalam kasih dengan Allah dan sesama. Ketakutan membuat saya menjadi istri yang pencemburu, tidak percaya diri, dan selalu gelisah, serta ibu yang terlalu protektif dan selalu khawatir. Namun, sambil terus mempelajari betapa besarnya kasih Allah kepada saya, Dia juga mengubah cara saya berhubungan dengan-Nya dan dengan sesama. Karena tahu bahwa Allah akan selalu memelihara saya, saya merasa lebih aman dan bersedia menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri saya sendiri.
Panggilan untuk Berani
Di antara patung-patung tokoh pria (Nelson Mandela, Winston Churchill, Mahatma Gandhi, dan lain-lain) yang dipajang di Alun-alun Gedung Parlemen London, terdapat satu-satunya patung tokoh perempuan. Perempuan tersebut adalah Milicent Fawcett, pejuang hak pilih kaum wanita. Ia diabadikan dalam rupa patung perunggu yang memegang spanduk bertuliskan kata-kata yang ia sampaikan sebagai penghargaan kepada sesama pejuang hak pilih: “Courage calls to courage everywhere” (Keberanian memanggil keberanian di mana pun). Menurut Fawcett, keberanian satu orang akan memberikan semangat bagi yang lain—memanggil jiwa-jiwa yang takut untuk segera bertindak.
Kerinduan yang Terukir
“Ah, setiap dermaga adalah kerinduan yang terukir!” begitulah bunyi sebaris kalimat dalam puisi berbahasa Portugis “Ode Marítima” karya Fernando Pessoa. Dermaga itu mewakili perasaan kita saat sebuah kapal beranjak perlahan meninggalkan kita. Kapal berangkat tetapi dermaga tetap di tempatnya, menjadi monumen abadi yang melambangkan harapan dan impian, perpisahan dan kerinduan. Kita merasa sedih karena ada yang hilang, dan atas sesuatu yang tidak dapat kita raih.
Mangkuk Air Mata
Di Boston, Massachusetts, terdapat sebuah plakat bertuliskan “Menyeberangi Mangkuk Air Mata” yang dipasang untuk mengenang orang-orang yang dengan berani menyeberangi Samudra Atlantik agar tidak mati kelaparan di tengah bencana kelaparan hebat yang melanda Irlandia di akhir tahun 1840-an. Lebih dari sejuta orang meninggal dalam bencana kelaparan itu, sementara satu juta lebih lainnya memutuskan meninggalkan kampung halaman untuk menyeberangi lautan, yang secara puitis oleh John Boyle O’Reilly disebut sebagai “Mangkuk Air Mata.” Terdorong oleh kepedihan dan kelaparan hebat, orang-orang itu pergi mencari setitik pengharapan di tengah masa-masa sulit.
Kekuatan Baru
Di usia ke-54 saya mengikuti perlombaan maraton Milwaukee dengan dua target—mencapai garis akhir dan menyelesaikannya dalam waktu kurang dari 5 jam. Pencapaian saya akan sangat mengagumkan seandainya saja paruh kedua ditempuh selancar paruh pertama. Namun, pada kenyataannya, perlombaan tersebut sangat melelahkan, dan kekuatan baru yang saya butuhkan untuk menuntaskan paruh kedua itu tidak pernah datang. Saat saya mencapai garis finis, langkah-langkah mantap saya di awal perlombaan telah berubah menjadi langkah yang tertatih-tatih.
Terbakar Habis
Dalam buku The Call, Os Guinness bercerita tentang suatu waktu ketika Winston Churchill berlibur bersama para sahabatnya di wilayah selatan Prancis. Saat itu ia duduk dekat perapian untuk menghangatkan badan di malam yang dingin. Sambil memandangi api, mantan perdana menteri itu melihat batang-batang pinus “bergemeretak, mendesis, dan memercik saat terbakar dilalap api. Tiba-tiba, ia bersuara, ‘Saya tahu mengapa batang kayu memercikkan api. Saya tahu rasanya terbakar habis.’”