Kaya dalam Kebajikan
Setelah bekerja keras sebagai penatu selama 70 tahun—menggosok, mengeringkan, dan melicinkan baju dengan tangan—Oseola McCarty akhirnya pensiun di usia 86 tahun. Ia sudah menabung penghasilannya yang tidak seberapa dengan sangat cermat selama bertahun-tahun, dan kemudian melakukan sesuatu yang membuat takjub komunitasnya. Oseola memutuskan untuk mendonasikan 150.000 dolar AS kepada universitas setempat sebagai dana beasiswa bagi para mahasiswa yang membutuhkannya. Ratusan orang yang terinspirasi oleh pemberian tanpa pamrih tersebut ikut berdonasi hingga mencapai hasil tiga kali lipat dari donasi Oseola.
Rumah Ibadah
Ketika gedung Majelis Rendah Inggris dijatuhi bom pada Perang Dunia II, Perdana Menteri Winston Churchill memberi tahu Parlemen bahwa mereka harus membangun kembali gedung itu sesuai dengan rancangan semula. Bangunan tersebut harus cukup kecil supaya debat-debat bisa tetap dilangsungkan dengan tatap muka. Bangunan itu juga harus berbentuk persegi panjang, bukan setengah lingkaran, sehingga para politisi dapat “leluasa bergerak di bagian tengahnya.” Dengan demikian, sistem kepartaian di Inggris terus dipertahankan, dengan pihak Kiri dan Kanan saling berhadapan langsung, sehingga masing-masing pihak harus berpikir cermat sebelum mengalihkan dukungan mereka. Churchill menyimpulkan, “Kita membentuk bangunan-bangunan kita, dan setelah itu bangunan-bangunan tersebut yang membentuk kita.”
Pakailah Aku
James Morris pernah disebut sebagai “seorang awam yang buta huruf dan penuh kehangatan,” tetapi Allah memakainya untuk membawa Augustus Toplady mengenal iman yang menyelamatkan dalam Yesus Kristus. Toplady, penulis himne “Batu Karang yang Teguh” dari abad ke-18, menceritakan kesan yang diterimanya saat mendengar khotbah Morris. “Saya merasa aneh . . . seperti dibawa mendekat kepada Allah . . . di tengah-tengah sekumpulan umat Allah yang bertemu dalam sebuah lumbung, oleh pelayanan dari seseorang yang bahkan tidak bisa mengeja namanya sendiri. Pastilah itu karya Tuhan, dan itu sungguh menakjubkan.”
Baru dan Pasti
Selama tiga tahun, teman saya Susan tidak membeli apa pun bagi dirinya sendiri selain untuk kebutuhan rumah tangga. Pandemi Covid-19 sangat mempengaruhi pendapatannya, dan ia kini menjalani hidup yang sederhana. “Suatu hari saat membersihkan apartemen, aku melihat betapa kumal dan usangnya barang-barangku,” ia bercerita. “Saat itulah aku rindu mempunyai barang-barang baru—sesuatu yang segar dan menyenangkan. Sekelilingku tampak usang dan tua. Rasanya tidak ada lagi yang kunanti-nantikan.”