Rencana Kita dan Rencana Allah
Bertahun-tahun lalu, suami saya memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Afrika bersama sekelompok anggota jemaatnya. Di saat-saat terakhir, rombongan itu ternyata batal melakukan perjalanan. Seluruh peserta sempat kecewa, tetapi uang yang telah mereka kumpulkan untuk tiket pesawat, biaya penginapan, dan makanan akhirnya disumbangkan kepada orang-orang yang semula ingin mereka kunjungi. Orang-orang itu kemudian memakai uang tersebut untuk membangun sebuah gedung yang menampung para korban kekerasan.
Allah Mengejar Kita
Selama bertahun-tahun, Evan berjuang melawan masalah kecanduan yang menghalanginya untuk mendekat kepada Allah. Ia bertanya dalam hati, Mungkinkah aku layak menerima kasih-Nya? Meski rajin beribadah di gereja, Evan merasakan adanya jurang tidak terjembatani yang memisahkannya dari Allah.
Menjala Teman
Patty menghabiskan suatu sore di tepian sungai di wilayahnya, dengan memakai tongkat pancingnya untuk melemparkan suatu umpan ke dalam air. Karena baru pindah ke daerah tersebut, sebenarnya Patty tidak berharap menangkap ikan, melainkan ingin mencari teman baru. Umpannya bukanlah cacing atau umpan yang lazim digunakan. Dengan menggunakan tongkat pancingnya, ia menjulurkan bungkusan-bungkusan kue kering kepada orang-orang yang sedang mengarungi sungai dengan rakit pada musim panas. Ia memakai cara kreatif ini untuk menyapa tetangga-tetangga barunya, dan mereka semua tampaknya menikmati camilan manis darinya!
Yesus Damai Sejahtera Kita
Joan meradang saat melihat foto yang diunggah Susan di media sosial. Dalam foto itu tampak 10 orang teman gerejanya sedang bersenang-senang di sebuah restoran. Untuk kedua kalinya bulan ini, mereka pergi tanpa mengajak Joan. Ia mengusap air matanya. Joan memang tidak mudah bergaul, tetapi tetap saja ia terluka. Ia juga merasa janggal karena beribadah bersama orang-orang yang mengabaikannya!
Kepedulian dalam Kristus
Nyonya Charlene, ibunda teman saya Dwayne, berusia 94 tahun dengan tinggi sekitar 150 cm dan berat badan kurang dari 45 kg. Namun, beliau masih berusaha semampunya untuk merawat sang putra, yang tidak dapat mengurus diri sendiri karena terhalang oleh kondisi kesehatannya. Biasanya beliau tinggal di lantai atas di rumah mereka yang bertingkat dua. Ketika ada tamu yang berkunjung, dengan perlahan-lahan beliau akan menuruni 16 anak tangga sampai ke lantai bawah untuk menyambut mereka, sama seperti yang beliau lakukan untuk membantu merawat putra yang dikasihinya.
Relevan di Mata Allah
Setiap tahun, tim-tim football profesional di Amerika Serikat akan memilih pemain baru melalui acara National Football League Draft. Para pelatih akan menghabiskan ribuan jam untuk menilai kecakapan dan kebugaran calon pemain incaran mereka. Pada tahun 2022, Brock Purdy menjadi pemain pilihan terakhir—dengan nomor urut 262. Ia bahkan dijuluki “Si Tidak Relevan,” sebutan yang diberikan kepada pemain terakhir yang dipilih. Tak seorang pun berharap ia akan bermain dalam satu pertandingan pun dalam musim kejuaraan berikutnya. Namun, hanya beberapa bulan kemudian, Purdy memimpin timnya meraih dua kemenangan di babak penyisihan. Ternyata, para petinggi tim yang bertanggung jawab memilih pemain baru tidak selalu berhasil mengenali potensi yang ada. Kita pun menghadapi masalah yang sama.
Hidup yang Berkembang dalam Kristus
Ketika rumah kami dibangun, bisa dibilang kami membangunnya di atas tanah kosong berlumpur, di ujung suatu jalan yang berkerikil. Kami membutuhkan rumput, pepohonan, dan semak-semak agar tampilannya senada dengan wilayah perbukitan Oregon di sekitarnya. Saat mengeluarkan peralatan berkebun dan siap-siap bekerja, saya teringat pada taman pertama di dunia, yang mula-mula ada sebelum manusia hadir: “Belum ada semak apa pun di bumi, belum timbul tumbuh-tumbuhan apa pun di padang, . . . dan belum ada orang untuk mengusahakan tanah itu” (Kej. 2:5).
Memusatkan Pandangan kepada Yesus
Mata June terpaku pada mobil abu-abu di sebelahnya. Ia harus berpindah jalur untuk keluar dari jalan tol, tetapi setiap kali ia mencoba mendahului, pengemudi kendaraan itu seperti ikut menaikkan kecepatan. Akhirnya, ia berhasil juga menyalipnya. Puas dengan keberhasilannya, June melirik spion tengah dan menyeringai. Namun, seketika ia sadar, pintu keluar yang ingin dilewatinya telah terlewat.
Tempat Allah yang Lapang
Ketika teolog Todd Billings didiagnosis mengidap kanker darah yang tak tersembuhkan, ia menggambarkan kematian yang menyongsongnya seperti lampu-lampu di ruangan yang jauh, yang berkedip atau segera padam. “Sebagai ayah dari anak-anak berusia satu dan tiga tahun, saya cenderung membayangkan beberapa dekade mendatang sebagai sebuah tempat yang lapang, dan di sana saya akan melihat Neti dan Nathaniel tumbuh dewasa . . . Namun, dengan diagnosis ini . . . tempat itu jadi menyempit.”