
Kenangan Lama yang Membekas
Awal musim dingin tahun 1941. Ibadah Minggu baru saja berakhir. Ayah saya dan saudara-saudaranya berjalan kaki pulang ke rumah, sementara ayah mereka masih berada di gereja. Namun kemudian, ketika berjalan menapaki bukit bersalju menuju rumahnya, beliau terlihat sedang menangis. Ia baru saja mendengar kabar bahwa Pearl Harbor telah dibom. Semua putranya, termasuk ayah saya, akan dipanggil negara untuk berperang. Ayah saya selalu mengenang kejadian itu dengan sangat jelas.

Wanita yang Takut Akan Allah
Perayaan ulang tahun Rosie berlangsung sangat seru dan tak terlupakan. Selain makanan yang lezat dan canda tawa di meja, kehadiran cucu pertamanya menjadi pelengkap yang sempurna! Namun, semua hal baik itu tak sebanding dengan penghormatan yang diberikan oleh kedua putra Rosie. Meski pernikahan Rosie kandas, keterampilannya yang luar biasa sebagai orangtua tunggal tecermin lewat putra-putranya. Kalimat pujian mereka mencerminkan bagaimana Rosie sudah melakukan semampunya untuk memenuhi kebutuhan mereka. Ucapan putra bungsunya sangat tepat dalam menggambarkan sikap Rosie di hadapan mereka: “Mama adalah wanita yang takut akan Allah.”

Misi Radikal
Diognetus, seorang penyembah berhala dari abad ke-2, memperhatikan bahwa para pengikut Kristus “bertambah jumlahnya dari hari ke hari.” Hal ini terus terjadi meski mereka mengalami penganiayaan di bawah pemerintahan Romawi. Ia bertanya kepada salah seorang percaya mengapa hal itu dapat terjadi. Dalam sebuah dokumen yang dikenal sebagai Surat kepada Diognetus, bapa gereja mula-mula itu menjawab demikian, “Tidakkah Anda melihat bahwa semakin banyak dari mereka yang mendapat hukuman, semakin bertambah jumlah orang yang percaya? Tampaknya ini bukan pekerjaan manusia: ini adalah karya kuasa Allah.”

Terus Memuji Allah
Pada suatu musim panas, dalam perjalanan darat menuju Montana, kami berhenti di sebuah tempat istirahat untuk meregangkan kaki. Di dalam salah satu bangunan di sana, saya mendengar seorang pemuda sedang menyanyikan sepenggal lagu pujian yang terkenal sambil mengepel lantai. Kemudian ia mulai menyanyikan himne “It Is Well with My Soul” (Jiwaku Tenanglah, kppk 328). Saya tidak bisa menahan diri. Ketika pemuda itu menyanyikan awal dari refrein “Jiwaku . . .,” saya mengulanginya. Ia melanjutkan dengan, “tenanglah . . .,” dan saya kembali mengikutinya. Kami pun bersama-sama menyanyikan baris terakhir: “Jiwaku, jiwaku . . . tenanglah!” Ia tersenyum lebar, kami beradu kepalan tangan, sambil berkata, “Puji Tuhan.” Ketika saya kembali ke mobil sambil tersenyum lebar, suami saya pun bertanya, “Mengapa kamu begitu gembira?”
