Menjadi Kudus
Setelah mengunjungi pameran patung keramik kelas dunia di sebuah museum seni, saya diundang untuk membuat sebuah wadah kecil dari tanah liat yang mudah mengering. Saya menghabiskan waktu dua jam untuk membuat sebuah mangkuk kecil, mengukir pola, dan melukisnya. Hasil kerja keras saya cukup mengecewakan: sebuah mangkuk mungil yang buruk rupa dengan warna yang tidak merata. Yang pasti, hasilnya tidak pantas untuk dipamerkan di museum mana pun.
Allah Fondasi Kita yang Teguh
Rumah kami perlu direnovasi, karena dinding dapur mulai rontok dan lantainya sudah melengkung. Setelah sebagian besar dapur dirobohkan, para tukang bangunan mulai menggali tanah untuk membuat fondasi yang baru. Saat itulah sesuatu yang tidak lazim terjadi.
Diberkati untuk menjadi Berkat
Selama bertahun-tahun menjadi jurnalis, saya senang menceritakan kisah-kisah orang lain, tetapi saya diajarkan untuk tidak memberikan pendapat saya sendiri. Jadi, bertahun-tahun setelah saya merasa Allah memanggil saya untuk meninggalkan karier jurnalistik tersebut, dan semakin yakin bahwa Allah mengarahkan saya untuk menulis blog dan berbicara tentang Dia, saya merasa cukup canggung harus membagikan isi pikiran saya, terutama tentang iman saya. Saat saya mulai menulis di blog, saya takut bahwa saya akan kehabisan bahan untuk dibahas. Namun, pekan demi pekan, saya menemukan kata-kata yang menguatkan dan wawasan untuk dibagikan. Semakin sering saya menulis, semakin banyak ide yang mengalir. Saya masih merasakannya sampai sekarang.
Sikap Takut yang Sehat
Jeremy menulis, “Saya cukup tahu tentang ketakutan akan kematian. Tujuh tahun yang lalu . . . saya merasakan ketakutan yang intens dan hebat, hingga membuat mual dan pusing, saat diberi tahu bahwa saya mengidap kanker yang tidak bisa disembuhkan.” Namun, ia belajar mengelola rasa takutnya dengan bersandar pada hadirat Allah, dan beralih dari ketakutan akan kematian kepada sikap takut yang mendalam akan Allah sendiri. Bagi Jeremy, itu berarti mengagumi Sang Pencipta alam semesta yang akan “meniadakan maut” (Yes. 25:8) sekaligus memahami secara mendalam bahwa Allah mengenal dan mengasihinya.
Perlindungan Allah yang Sempurna
David Vetter meninggal dunia pada usia 12 tahun setelah menghabiskan seluruh masa hidupnya di dalam sebuah gelembung. “Bocah Gelembung” itu lahir dengan penyakit yang disebut defisiensi imunitas kombinasi (SCID). Orangtua David pernah kehilangan anak pertama mereka karena penyakit yang sama, jadi mereka bertekad untuk melindungi anak mereka yang kedua. Untuk memperpanjang umur David, para insinyur NASA merancang gelembung pelindung dari plastik dan pakaian antariksa agar orangtuanya dapat mendampingi putra mereka di dunia luar. Kita semua ingin melindungi orang-orang yang kita kasihi.
Kristus yang Terutama
Saya dan istri menyukai film romantis yang ringan dan menyenangkan. Bisa dibilang itu favorit kami berdua. Pesona dan daya tarik film jenis itu terletak pada alur ceritanya yang dapat ditebak dan selalu diakhiri dengan para tokoh yang bahagia selamanya. Baru-baru ini, kami menonton satu film yang menyajikan sejumlah nasihat romantis yang patut dipertanyakan. Cinta adalah perasaan, begitu katanya. Lalu, Ikuti saja kata hatimu. Terakhir, Yang paling penting kamu bahagia. Memang, perasaan kita itu penting. Namun, perasaan yang terlalu berfokus pada diri sendiri adalah dasar yang buruk untuk pernikahan yang langgeng.
Janji Allah
Sungguh memilukan saat menyaksikan ayah saya kehilangan ingatannya. Demensia memang tak kenal ampun dengan merenggut semua kenangan, sampai tak ada lagi ingatan yang tersisa dari kehidupan yang mereka jalani. Suatu malam, saya bermimpi. Saya meyakini mimpi itu dipakai Allah untuk menguatkan saya. Dalam mimpi itu, saya melihat sebuah kotak kecil di tangan-Nya. “Semua kenangan ayahmu aman tersimpan di sini,” kata-Nya. “Aku akan menjaganya untuk sementara waktu. Suatu hari nanti, di surga, Aku akan mengembalikannya kepada ayahmu.”
Mengenali Allah
Saya terbang ke India, negeri yang belum pernah saya kunjungi, dan mendarat di bandara Bengaluru setelah tengah malam. Meski sebelumnya sudah sering berkomunikasi lewat email, saya masih tidak tahu siapa yang akan menjemput atau di mana harus menemuinya. Saya hanya mengikuti orang-orang ke bagian pengambilan bagasi dan bea cukai, lalu keluar ke tengah cuaca malam yang lembab, sambil mencoba mencari sepasang mata yang ramah di antara lautan wajah. Selama satu jam saya mondar-mandir di depan kerumunan orang, berharap ada yang mengenali saya. Seorang pria yang baik hati akhirnya menghampiri saya. “Apakah Anda Winn?” ia bertanya. “Maaf, saya pikir saya akan mengenali Anda, padahal Anda terus mondar-mandir di depan saya—tapi Anda tidak seperti yang saya bayangkan.”
Karunia Pencobaan
Wright bersaudara memang berhasil menerbangkan manusia, tetapi perjalanan mereka menuju kesuksesan tidaklah mudah. Meski menghadapi banyak kegagalan, cemoohan, masalah finansial, dan cedera serius yang menimpa salah satu dari mereka, kedua bersaudara itu tidak terhentikan oleh berbagai ujian yang mereka hadapi. Orville Wright berkata, “Tidak ada burung yang terbang tinggi dengan tenang.” Menurut penulis biografi mereka, David McCullough, ucapan itu berarti bahwa kesulitan “sering kali justru dibutuhkan agar seseorang dapat naik lebih tinggi.” McCullough berkata, “Kebahagiaan mereka bukanlah tiba di puncak gunung. Kebahagiaan mereka adalah pendakian gunung itu sendiri.”