Category  |  Santapan Rohani

Hidup yang Berkembang dalam Kristus

Ketika rumah kami dibangun, bisa dibilang kami membangunnya di atas tanah kosong berlumpur, di ujung suatu jalan yang berkerikil. Kami membutuhkan rumput, pepohonan, dan semak-semak agar tampilannya senada dengan wilayah perbukitan Oregon di sekitarnya. Saat mengeluarkan peralatan berkebun dan siap-siap bekerja, saya teringat pada taman pertama di dunia, yang mula-mula ada sebelum manusia hadir: “Belum ada semak apa pun di bumi, belum timbul tumbuh-tumbuhan apa pun di padang, . . . dan belum ada orang untuk mengusahakan tanah itu” (Kej. 2:5).

Memusatkan Pandangan kepada Yesus

Mata June terpaku pada mobil abu-abu di sebelahnya. Ia harus berpindah jalur untuk keluar dari jalan tol, tetapi setiap kali ia mencoba mendahului, pengemudi kendaraan itu seperti ikut menaikkan kecepatan. Akhirnya, ia berhasil juga menyalipnya. Puas dengan keberhasilannya, June melirik spion tengah dan menyeringai. Namun, seketika ia sadar, pintu keluar yang ingin dilewatinya telah terlewat.

Tempat Allah yang Lapang

Ketika teolog Todd Billings didiagnosis mengidap kanker darah yang tak tersembuhkan, ia menggambarkan kematian yang menyongsongnya seperti lampu-lampu di ruangan yang jauh, yang berkedip atau segera padam. “Sebagai ayah dari anak-anak berusia satu dan tiga tahun, saya cenderung membayangkan beberapa dekade mendatang sebagai sebuah tempat yang lapang, dan di sana saya akan melihat Neti dan Nathaniel tumbuh dewasa . . . Namun, dengan diagnosis ini . . . tempat itu jadi menyempit.”

Hina tetapi Dikasihi Allah

Pada suatu hari di gereja, saya menyapa sebuah keluarga yang sedang berkunjung. Saya berlutut di samping kursi roda gadis kecil dari keluarga itu, memperkenalkannya kepada anjing penolong saya, Callie, dan memuji kacamata serta sepatu bot merah mudanya yang cantik. Meski ia tidak dapat berbicara, senyumnya menunjukkan bahwa ia menikmati percakapan kami. Seorang gadis kecil lain menghampiri kami, tetapi menghindari kontak mata dengan teman baru saya tadi. Ia berbisik, “Tolong bilang kepadanya, aku suka gaunnya.” Saya berkata, “Kamu boleh bilang sendiri kepadanya. Dia baik, seperti kamu.” Saya menjelaskan betapa mudahnya berbicara dengan gadis tadi, meski ia berkomunikasi dengan cara berbeda. Selain itu, cara kita memandang serta tersenyum kepadanya akan membantu ia merasa diterima dan dikasihi.

Paradoks Visual Kristus

Himne “When I Survey the Wondrous Cross” (Memandang Salib yang Agung, KRI 211) adalah karya Isaac Watts, salah satu penulis lagu himne terbesar sepanjang masa. Dalam lirik sajaknya, ia menggunakan majas paradoks untuk menunjukkan tema yang kontras: “Kemuliaan pada diriku hanya kehinaan belaka.” Terkadang kita menyebut ungkapan semacam itu sebagai oksimoron, yaitu penggunaan kata-kata yang seakan saling bertentangan, seperti “perang saudara” dan “isak tangis bahagia.” Dalam lirik yang digubah Watts, penggunaan paradoksnya jauh lebih mendalam.

Kasih Bapa Kita

Kim duduk di dekat jendela, siap dengan tasnya, menunggu kedatangan ayahnya dengan penuh semangat. Namun, saat langit berubah gelap dan hari menjadi malam, antusiasmenya surut. Ia sadar, lagi-lagi ayahnya tidak datang.

Tergerak untuk Bercerita

“Kamu tahu Yesus mengasihimu. Dia benar-benar mengasihimu.” Itulah kata-kata terakhir John Daniels. Hanya beberapa detik setelah memberikan uang kepada seorang tunawisma dan mengucapkan kata-kata perpisahan itu, ia tertabrak mobil dan tewas seketika. Lembar warta dari kebaktian untuk mengenang hidup John mencantumkan kisah ini, “Ia ingin mencoba untuk menjangkau lebih banyak orang, jadi pada suatu Minggu sore, saat ia berusaha menolong seorang pria, Allah memberinya jalan untuk menjangkau dunia. Semua saluran TV lokal menyiarkan berita tentang dirinya, dan berita itu disaksikan oleh teman-teman, keluarga, dan banyak orang di seluruh negeri.”

Bertanya kepada Yesus

“Andaikan Yesus benar-benar duduk semeja dengan kita pagi ini, apa yang ingin kalian tanyakan kepada-Nya?” tanya Joe kepada anak-anaknya saat sarapan. Anak-anak yang laki-laki memikirkan beberapa pertanyaan yang mereka anggap paling sulit. Mereka memutuskan ingin menanyai Yesus soal matematika paling sukar dan meminta-Nya menjelaskan seberapa besar alam semesta itu sesungguhnya. Lalu, putrinya menjawab, “Aku ingin meminta-Nya memelukku.”

Menjadi Kudus

Setelah mengunjungi pameran patung keramik kelas dunia di sebuah museum seni, saya diundang untuk membuat sebuah wadah kecil dari tanah liat yang mudah mengering. Saya menghabiskan waktu dua jam untuk membuat sebuah mangkuk kecil, mengukir pola, dan melukisnya. Hasil kerja keras saya cukup mengecewakan: sebuah mangkuk mungil yang buruk rupa dengan warna yang tidak merata. Yang pasti, hasilnya tidak pantas untuk dipamerkan di museum mana pun.