Category  |  Santapan Rohani

Meratap kepada Allah

Awalnya saya melihat-lihat pameran pembuka dari Monumen Peringatan & Museum 9/11 (11 September) di kota New York dengan penuh rasa ingin tahu dan emosi yang stabil. Namun, perasaan itu berubah ketika saya memasuki area pameran bagian dalam, yang tertutup bagi anak-anak dan mereka yang tidak ingin melihat tampilan yang sangat memilukan. Ketika saya menyaksikan cerita demi cerita tentang kepedihan dan kehilangan, saya bisa merasakan hati saya ikut meratap.

Tak Berdaya, tetapi Tetap Berdoa

Hati Anita Bailey merasa dikuatkan ketika ia menerima pesan seseorang di media sosial mengenai putranya, Jalen: “Hari ini aku melayani sebagai penyambut jemaat di gereja ketika seorang pria muda yang sedang menggendong anak menghampiri serta memeluk saya. . . . Saya menatapnya sejenak, sebelum mengenalinya dan berseru, ‘Jalen’! Kami berpelukan dan mengobrol singkat. Benar-benar pemuda yang luar biasa!” Orang itu mengetahui masa lalu Jalen yang penuh pemberontakan. Saat itu, Anita dan Ed, suaminya, merasa tidak berdaya untuk menyelamatkan Jalen dari konsekuensi kesalahan yang diperbuatnya sehingga ia harus mendekam di penjara selama 12 tahun.

Tidak Malu Bersaksi bagi Yesus

Sebelum mati martir karena imannya yang teguh di dalam Yesus, seorang pendeta tanpa nama asal Afrika menulis sepenggal doa yang diberi judul “Doa Seorang Martir.” Pesan mendalam dari masa silam itu kini dikenal sebagai “Persekutuan Mereka yang Tidak Malu.”

Menghayati Kebenaran Kristus

Ketika teman saya, Connor, mengambil foto dengan kamera tuanya, ia tidak mementingkan pencahayaan yang menarik, memoles bagian-bagian yang coreng-moreng, atau membuang bagian yang kurang enak dilihat. Hasil fotonya terlihat begitu apa adanya. Namun, di konten media sosial saya, karya foto Connor tampak menonjol di antara foto-foto orang atau tempat menarik yang telah diedit dengan sangat halus. Meski tidak lazim, karyanya begitu indah karena menyampaikan kebenaran tentang sesuatu tanpa ditutupi-tutupi.

Bergantung kepada Allah

“Oh, tampangmu serius sekali!” kata saya kepada cucu perempuan saya yang berusia sepuluh minggu, Leilani. Ia memandangi wajah saya dengan dahi berkerut saat saya berbicara dengannya. “Aku juga akan begitu melihat dunia ini,” lanjut saya, “Tetapi, kamu harus tahu kalau ayah-ibumu sayang padamu. Baba serta Papa [nama panggilan kami sebagai kakek dan nenek] juga sayang padamu. Tetapi, yang paling hebat dan paling penting, Yesus sayang padamu!”